Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Post Traumatic Growth": Orangtua Positif Pasca-perceraian

BERDASARKAN laporan statistik pada 2021 terdapat 447.743 kasus perceraian di Indonesia dan 516.334 kasus pada 2022. Ada peningkatan 15 persen kasus perceraian dari 2021 ke tahun 2022 (GoodStats, 2023).

Faktor yang menyebabkan perceraian di antaranya masalah ekonomi, komunikasi, budaya/agama, nilai pribadi, pengasuhan anak, isu keluarga besar, dan masalah lainnya.

Perceraian menimbulkan konflik antarorangtua yang menyebabkan terganggunya pola kelekatan antara anak dengan orangtuanya.

Perceraian membuat anak tidak selalu menemui kedua orangtuanya setiap saat. Memang ada orangtua yang sudah bercerai, tetapi menurunkan ego masing-masing untuk tetap bertemu dengan anak.

Namun tidak jarang ada orangtua yang melarang anaknya untuk menemui orangtua lainnya, entah itu Ayah atau Ibu.

Padahal pola kelekatan antara orangtua dengan anak sangat penting karena orangtua dapat berperan sebagai support system bagi anak untuk terus mengeksplor hal-hal baru dan dunia secara lebih luas (Saturrosidah et al., 2018).

Dampak psikologis bagi anak pasti akan muncul sebelum dan sesudah perceraian orangtuanya. Namun yang sering terlupakan adalah dampak psikologis bagi orangtua yang bercerai juga ada.

Salah satunya adalah kondisi berduka karena adanya perbedaan cara hidup dan rutinitas dari sebelumnya memiliki pasangan menjadi kondisi melakukan segalanya sendiri, termasuk mengasuh dan merawat anak.

Wanita cenderung memiliki masalah emosional yang lebih banyak dibandingkan pria. Selain itu, perubahan status menyandang sebutan janda seringkali menyebabkan persepsi sosial yang negatif dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi wanita dalam lingkungannya.

Layly (2015) mengemukakan bahwa pria atau wanita yang bercerai membutuhkan perubahan atau pertumbuhan kognitif yang positif untuk mampu menghadapi berbagai situasi yang menimbulkan dampak negatif dalam kehidupannya yang disebut dengan Post Traumatic Growth.

Menurut Tedeschi dan Calhoun (2004), pengalaman traumatik (salah satunya adalah perceraian) yang terjadi pada seseorang mampu membuat mereka memiliki kemungkinan baru untuk menjalani hidup yang lebih bersemangat, menikmati hidup, dan melakukan perubahan terhadap aspek spiritual yang lebih baik.

Menurut mereka, aspek-aspek Post Traumatic Growth tersebut adalah:

  • Perubahan dalam persepsi diri yang berupa kekuatan seseorang untuk menjadi pribadi yang lebih kuat dan mandiri, serta memandang diri lebih positif dalam menjalani peran baru pascaperceraian (sebagai orangtua tunggal).
  • Perubahan dalam pengalaman relasi dengan orang lain, salah satunya menjadi lebih mendekatkan diri pada keluarga besar dalam meminta bantuan untuk mengasuh dan merawat anak.
  • Perubahan pandangan mengenai kehidupan dengan adanya perubahan prioritas hidup, lebih menghargai kehidupan dan aspek spiritual yang semakin membaik.

Dengan memiliki Post Traumatic Growth ini, orangtua yang bercerai lebih mampu untuk memprioritaskan kebutuhan anak yang juga mengalami trauma pascaperceraian orangtuanya.

Pengasuhan yang masih melibatkan kedua orangtua yang telah bercerai seharusnya tetap menjadi tugas dan tanggungjawab bersama.

Pengasuhan anak pascaperceraian membutuhkan kondisi psikologis kedua orangtua yang telah mencapai resolusi pribadinya dan memiliki Post Traumatic Growth.

Sejumlah aspek yang diperlukan oleh anak dalam pengasuhan:

  • Bangun kelekatan dengan anak melalui cara menjaga kepercayaan, komunikasi untuk mencegah adanya perasaan keterasingan terhadap salah satu atau kedua orangtua.
  • Pemenuhan kebutuhan emosi anak akan rasa aman, cinta dan kasih sayang, perhatian dan penghargaan bagi anak agar anak tetap dapat mengembangkan rasa percaya diri dan menghargai diri sendiri.
  • Prioritas menjalin kerja sama yang baik dalam mengasuh dan mendidik anak agar anak tidak semakin merasa bersalah dan tidak memihak salah satu orangtua.
  • Pengasuhan berfokus pada memikirkan kepentingan anak dan mengusahakan yang terbaik bagi anak, termasuk ketika perayaan ibadah, ulangtahun, atau hal-hal lain yang lebih menantang seperti disiplin, aturan, konsekuensi perilaku, dan lainnya.
  • Utamakan komunikasi dengan anak dan mantan pasangan tanpa memperhitungkan kesalahan masing-masing.
  • Kelola ekspektasi terhadap anak sehingga anak tidak merasa menjadi pertandingan bagi orangtuanya.
  • Memiliki aturan dan jadwal yang konsisten bagi anak, dengan memiliki waktu berkualitas bersama secara bergantian atau bersama yang telah disepakati dan dilakukan secara tepat.

Perceraian memang mendatangkan masalah dan trauma baik bagi orangtua yang bercerai dan anak-anak mereka.

Namun dengan memiliki Post Traumatic Growth, orangtua yang bercerai akan menjadi lebih tangguh untuk move on dari kehidupan pernikahannya yang gagal menjadi orangtua yang mampu mengasuh dan merawat anak secara tepat untuk menghindari dampak psikologis yang lebih berat.

*Nico Surya Oktafiansyah, Griselda Artha Daeli, Lilly Ratanawati, Matthew Juan Toscani, Sharron Dharmawati, Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
Denrich Suryadi, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

https://lifestyle.kompas.com/read/2024/01/11/142638420/post-traumatic-growth-orangtua-positif-pasca-perceraian

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke