Pasalnya, mereka yang broken home tidak memiliki orangtua dengan hubungan yang harmonis, sehingga dikhawatirkan hal serupa terjadi dalam pernikahannya.
Namun, psikolog keluarga sekaligus konsultan pranikah yang berpraktik di Semarang, Jawa Tengah, Sukmadiarti, M.Psi., meluruskan hal tersebut.
"Yang keluarganya harmonis pun perlu, karena membekali diri dengan ilmu (termasuk ilmu pernikahan) kan juga kewajiban," tutur dia saat dihubungi Kompas.com, beberapa waktu lalu.
Sebab, tidak ada manusia yang sempurna. Orangtua yang mampu membina rumah tangga dan anak-anaknya pun, tentu tidak luput dari kesalahan.
Ketika menghadapi masalah dan harus mengatasinya, orangtua juga belum tentu melakukannya dengan sempurna.
Dikatakan Sukmadiarti, kelas pranikah dapat membantu "menambal" ilmu pernikahan yang mungkin telah dipelajari calon pengantin (catin), selama mengobservasi pernikahan orangtuanya.
"Biasanya di kelas pranikah ada sesi release. Misal (catin) dari latar belakang broken home, ada yang mental block (terkait pernikahan), itu bisa dibantu," ucap Sukmadiarti.
Misalnya, deretan latar belakang itu menyebabkan mereka tidak berani menikah dengan pasangannya. Padahal, mereka sudah lama pacaran.
"Ternyata, dari sisi salah satunya ada (trauma) terkait keuangan. Dulu orangtuanya kurang berperan dalam hal ekonomi, sehingga dia melihat ibunya ada perasaan sedih karena harus banting tulang," jelas dia.
Alhasil, mereka memiliki ketakutan tidak bisa menafkahi atau tidak dihargai secara finansial oleh calon istri atau suami, meski saat ini statusnya sudah mapan.
Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk tidak melangkah ke jenjang pernikahan.
"Itu bisa dibantu dalam sesi konseling, tidak hanya kelas pranikah. Barangkali butuh (konsultasi) lanjutan, bisa konsultasi pranikah dengan psikolog. Lebih privat. Jadi, bisa dibantu menggali area spesifik yang menghambat dirinya itu terkait apa," pungkas Sukmadiarti.
https://lifestyle.kompas.com/read/2024/08/15/123000720/jangan-salah-kelas-pranikah-tak-hanya-untuk-orang-orang-broken-home