Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Ada Anak yang Suka Mem-bully? Psikolog Ungkap Alasannya

KOMPAS.com - Ada banyak sekali kasus perundungan di Indonesia. Pelakunya dari berbagai usia, anak-anak hingga dewasa.

Belakangan, masyarakat digemparkan oleh kabar bunuh diri seorang mahasiswa Dokter Spesialis, Aulia Risma Lestari. 

Pasalnya, Aulia ditemukan meninggal di kamar kosnya setelah overdosis obat anestesi.

Melalui buku harian dan pesan yang ditinggalkan ke orangtuanya, korban diduga bunuh diri karena mengalami perundungan saat menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Universitas Diponegoro (UNDIP) yang dilakukan oleh seniornya. 

Penyebab anak menjadi pelaku perundungan

Sebenarnya, mengapa ada orang, termasuk anak-anak, yang suka merundung orang lain?

Menurut Psikolog Klinis Anna Surti Ariani, ada beberapa penyebab mengapa anak-anak suka mem-bully. 

1. Tekanan di rumah

"Karena kondisi di rumah memang cenderung ada yang menekan," ujar Anna ketika diwawancarai Kompas.com, Jumat (7/9/2024). 

Misalnya, ketika di rumah orangtua banyak sekali memarahi dan menghukum anak. Ini akan membuat anaknya menjadi tertekan. 

"Anak butuh melepaskan emosi itu dan sering kali dia melepaskan emosinya dengan mem- bully," jelas Anna. 

2. Mencontoh orangtua

Anak kerap mencontoh perilaku orangtuanya. Bisa jadi, anak melakukan perundungan karena melihat bagaimana orangtuanya memperlakukan orang lain. 

Misalkan ketika orangtua dan anak sedang makan di suatu restoran, lalu pelayan salah memberikan makanan yang dipesan. 

"Jika respons kita memarah-marahi pelayan, menjelek-jelekan, bahkan mempermalukan pelayan itu sebetulnya adalah contoh bahwa ketika ada suatu permasalahan, diselesaikannya dengan menekan pihak lain," ujar Anna. 

Melalui kejadian tersebut, anak belajar untuk merendahkan orang lain. Sehingga, ketika sering melihat orangtuanya seperti itu, anak menjadi pembully. 

3. Pertengkaran dengan saudara

Penyebab mengapa anak bisa menjadi perundung selanjutnya adalah pertengkaran dengan saudara. 

"Ada pula anak-anak yang banyak bertengkar dengan saudara kandungnya," ujar Anna. 

Pertengkaran saudara kerap dianggap wajar, padahal hal tersebut bersifat fatal. Pasalnya, orangtua kerap berat sebelah dan menyuruh si kakak untuk mengalah pada adiknya. 

"Ditekan baik oleh saudara lainnya atau orangtuanya untuk bisa mengalah pada saudara kandungnya," jelas Anna. 

Hal tersebut dapat membuat anak tertekan dan melepaskan rasa tertekannya dengan cara mem-bully orang lain. 

4. Rendahnya harga diri

"Garis besarnya adalah ketika anak memiliki kondisi self esteem atau harga diri yang kurang baik," ujar Anna. 

Di mana anak tersebut sebenarnya memiliki perasaan rendah diri dan kurang percaya diri. 

"Kemudian ada kebiasaan-kebiasaan di lingkungannya untuk merendahkan orang lain, kemungkinannya lebih besar untuk dia melakukan bullying," jelas Anna. 

Karena dengan mem-bully orang lain, anak jadi merasa bahwa dia lebih tinggi daripada orang lain sehingga dia terus mem-bully untuk menutupi perasaan rendah dirinya itu. 

https://lifestyle.kompas.com/read/2024/09/07/130300220/mengapa-ada-anak-yang-suka-mem-bully-psikolog-ungkap-alasannya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com