Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Waspadai, 6 Siklus Kekerasan dalam Toxic Relationship

KOMPAS.com - Toxic relationship adalah hubungan yang tidak sehat. Ada banyak hal buruk yang dapat terjadi dalam toxic relationship, salah satunya adalah kekerasan. 

Meskipun kekerasan terjadi, seseorang kerap sulit lepas dari toxic relationship. Sehingga, ia terjebak dalam suatu siklus. 

Menurut Psikolog Vania Susanto, ada enam tahapan dalam siklus kekerasan pada toxic relationship. Berikut ulasannya.

Tahapan siklus toxic relationship

1. Terjadinya kekerasan

"Yang pertama adalah terjadinya kekerasan," ujarnya dalam Webinar Senior Life Bangkit dari Toxic Relationship: Langkah Menuju Hubungan Sehat, Jumat (27/9/2024). 

Kekerasan tersebut dapat berupa kekerasan fisik maupun kekerasan verbal.

Ketika mengalami kekerasan, seseorang akan merasa sakit, sedih, dan tidak berharga. Sehingga, kerap ingin menyudahi hubungan toxic tersebut. 

2. Permintaan maaf

Setelah melakukan kekerasan, orang yang tergolong toxic tersebut kemudian meminta maaf pada pasangannya dan memberikan alasan.

"Ada excuse atau alasan mengapa melakukan hal seperti itu," jelas Vania. 

Pelaku kekerasan bahkan kadang meminta maaf dengan cara yang terlihat sangat tulus.

Mereka bisa saja menangis, mengakui kesalahannya, dan memohon agar korban tidak memutus hubungan. 

3. Fase honeymoon

Korban kerap kali luluh dengan permintaan maaf pelaku, sehingga kembali memaafkannya. 

"Kemudian diberikan kesempatan kedua atau kesempatan kesekian. Ia kemudian menunjukkan adanya perubahan perilaku," ujar Vania. 

Pelaku kekerasan kemudian menunjukkan kasih sayangnya secara terus-menerus. Bahkan, pelaku kerap melakukan love bombing. 

Sehingga, pada fase ini korban merasa bahwa pasangannya sangat menyayanginya. Bahwa kekerasan yang dilakukan sebelumnya adaalah karena rasa cintanya yang besar. 

"Jadi masuk lagi ke fase honeymoon, saling menyayangi dan menyukai," jelas Vania. 

4. Fase rutinitas

Namun, fase honeymoon itu tidak berlangsung lama. Hubungan kemudian memasuki fase rutinitas. 

"Rutinitas ini di mana pasangan berperilaku apa adanya," ujar Vania.

Tidak lagi sehangat ketika fase honeymoon, keseharian berlangsung biasa saja tanpa ada yang istimewa. 

5. Fase ketegangan

Pada satu titik terjadi ketegangan yang menimbulkan ketidaknyamanan pada korban.

"Sampai kemudian ada tension atau hal-hal yang buat ga nyaman karena sebenarnya konfliknya belum selesai," ungkap Vania. 

Karena sebelumnya permasalahan tidak menemui solusinya, melainkan dilampiaskan dengan emosi sesaat, ketegangan masih dapat muncul di antara pasangan. 

6. Trigger

Ketegangan dapat terus berlangsung sampai nanti adanya trigger atau pemicu.

Trigger tersebut memecahkan ketegangan dan memicu kekerasan terjadi kembali. Pelaku dapat kembali melakukan kekerasan pada korban. 

"Karena adanya fase permintaan maaf dan honeymoon, korban kerap sulit lepas dalam hubungan yang toxic," jelas Vania. 

Padahal sebenarnya, permintaan maaf dan honeymoon itu tidak menjadi bahwa siklus yang sama akan terulang lagi. 

https://lifestyle.kompas.com/read/2024/09/28/160600420/waspadai-6-siklus-kekerasan-dalam-toxic-relationship

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com