KOMPAS.com - Pasangan merupakan orang yang menemani kehidupan kita. Lalu, bagaimana jika pasangan berlaku toksik dan menyakiti kita sehingga membuat kita ingin memutus hubungan dengannya?
Pada situasi ini, ketika pasangan meminta maaf karena kesalahannya, kita kerap kali bingung apakah harus meninggalkannya atau bertahan.
Namun, tak sedikit orang yang bertahan dalam hubungan yang toksik dengan harapan pasangannya akan berubah menjadi lebih baik. Apakah hal itu tepat?
Bertahan dalam hubungan toksik, tepatkah?
Menurut Psikolog Vania Susanto, masih banyak orang yang tetap bertahan dalam hubungan toksik dengan harapan pasangannya akan berubah.
Pada posisi tersebut, penting untuk mempertimbangkan hal baik dan buruk yang mungkin terjadi atas konsekuensi pilihan kita.
"Perlu dipertimbangkan, jika aku bertahan kira-kira dampak positif dan dampak negatifnya apa," ujarnya dalam webinar Psikologi Bangkit dari Toxic Relationship: Langkah Menuju Hubungan Sehat, Jumat (27/9/2024).
Sayangnya, dalam hubungan toksik cenderung tidak ada dampak yang baik pada korbannya.
Semua dampak yang terjadi relatif buruk, serta merugikan fisik juga mental.
"Apa lagi yang mau dipertahankan dalam hubungan ketika kita sudah sadar bahwa hubungan ini adalah toksik," tangkas Vania.
Namun, kerap kali kita tetap bersikeras bertahan dalam hubungan. Karena perasaan sayang, bergantung, tidak mau kehilangan, dan harapan baik pada pasangan.
Misalnya, pasangan kita melakukakan kekerasan pada kita. Namun, ia meminta maaf bahkan hingga menangis hingga membuat kita luluh dan tidak tega.
Padahal, perlakuan buruk yang dilakukan pasangan selama berpacaran bisa saja dilakukan kembali saat berumah tangga.
"Sekarang, misalnya pacaran tapi nanti lanjut ke hubungan yang lebih serius seperti pernikahan, kekerasan ini bisa jadi tetap dibawa ke dalam pernikahan," jelas Vania.
Pasalnya, menurutnya perilaku toksik biasanya sulit berubah. Apalagi pelaku kekerasan biasanya memiliki tendensi untuk melakukan kekerasan secara berulang.
"Kita tidak bisa mengharapkan pasangan kita berubah setelah menikah," ungkap Vania.
Setelah menikah, kita bisa saja justru menemukan hal lain yang sebelumnya belum diketahui.
"Jadi ketika pacaran saja banyak hal yang tidak bisa kita toleransi, banyak hal yang tidak sehat, berarti itu sudah tanda bahwa hubungan itu perlu ditinggalkan karena tidak baik buat kita," jelasnya.
Kita tidak bisa berharap pasangan akan berubah karena tidak bisa mengontrol pikiran dan perilakunya. Kita hanya bisa sedikit mempengaruhinya.
Sementara perubahan hanya bisa terjadi dalam diri orang itu sendiri.
"Jika dari pasangan merasa tidak ada keperluan untuk berubah, maka kita hanya berjuang sendiri dalam hubungan padahal penting banget ada kata "saling" dalam hubungan yang sehat," lanjut Vania.
Tetap bertahan dalam hubungan akhirnya memberikan ruang pada pasangan untuk kembali melakukan hal-hal toksik. Membuat diri kita mengalami lebih banyak lagi hal buruk dan emosi negatif.
"Bisa bayangkan engga seumur hidup bersama pasangan yang seperti itu perilakunya," tutup Vania.
https://lifestyle.kompas.com/read/2024/10/03/075300520/bertahan-dalam-hubungan-toksik-karena-yakin-pasangan-berubah-tepatkah-