Temuan ini diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) terhadap 500 anak di kelas 3 dan kelas 5 SD di Manggarai dan Tanjung Priok, Jakarta.
“Working memory anak memiliki hubungan yang signifikan dengan status kurang gizi kronik yang berkaitan dengan perawakan pendek, kadar Hb (hemoglobin), dan jumlah asupan nutrisi anak,” ujar Direktur Eksekutif FKI Prof. Nila F Moeloek dalam media briefing mengenai pemenuhan gizi anak SD di Beautika Restoran, Senayan, Jakarta, Selasa (22/10/2024).
Working memory, atau memori kerja, adalah sistem kognitif yang memungkinkan seseorang untuk menyimpan dan memproses informasi dalam waktu singkat.
Anak-anak dengan daya tangkap informasi yang baik mampu menemukan solusi, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan dengan lebih efektif.
Berdasarkan penelitian ini, anak yang kurang asupan gizi berisiko tiga kali lebih besar untuk memiliki working memory yang rendah.
Kekurangan gizi yang dimaksud meliputi kekurangan zat besi, risiko anemia, kekurangan energi, dan perawakan pendek.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 28 persen anak memiliki asupan energi yang tidak mencukupi, dan lebih dari 63 persen anak kekurangan karbohidrat.
“Artinya, ada hubungan yang erat antara prestasi akademik seorang anak dengan asupan nutrisi yang seimbang. Terutama, jika orangtua ingin anaknya tumbuh cerdas dan berprestasi,” terang Nila.
Ketika anak kekurangan gizi, mereka akan lebih lambat dalam mencerna informasi dibandingkan dengan anak yang mendapatkan asupan gizi yang optimal.
Pentingnya gizi untuk keberhasilan akademik
Menurut Nila, hasil penelitian ini merupakan peringatan keras terhadap masa depan kesehatan dan pendidikan di Indonesia.
“Karena, working memory adalah indikator yang sangat penting untuk keberhasilan belajar anak di sekolah,” jelasnya.
Anak-anak memerlukan working memory yang baik untuk mengikuti instruksi guru, fokus saat belajar, serta menghafal dan menginterpretasikan informasi jangka pendek.
Skor working memory yang rendah dapat mengganggu proses dasar otak anak dalam belajar, yang pada akhirnya dapat mengancam prestasi akademik mereka.
“Ini adalah fakta yang bisa dihubungkan secara medis. Anak-anak SD banyak yang tidak cukup makan. Sehingga, asupan gizi terutama gizi makro, menjadi tidak cukup,” tutur Nila.
Asupan gizi makro sangat penting karena langsung digunakan oleh tubuh dan otak sebagai energi untuk beraktivitas, berpikir, bermain, dan belajar.
“Jadi, kalau memang makannya tidak cukup, maka energinya juga tidak tersedia untuk belajar dan bermain di sekolah,” kata Nila.
Solusi pemenuhan gizi anak SD
Peneliti lainnya, Dr. Tonny Sundjaya, Dr. Kianti Raisa, dan Dr. Eric Tjoeng, menegaskan bahwa tindakan segera harus dilakukan.
Mereka menekankan bahwa masalah working memory ini berdampak pada kualitas pendidikan di Indonesia, di mana anak-anak bisa kesulitan mencapai potensi penuh mereka dalam kehidupan sosial maupun karier di masa depan.
Working memory bukan sekadar masalah kesehatan individu, melainkan juga masalah ekonomi, jika kekurangan gizi pada anak SD tidak lekas diintervensi.
Salah satu solusi yang diusulkan adalah program pemberian makan siang bergizi di sekolah, yang harus dijalankan dengan baik agar makanan dapat dihabiskan oleh semua anak.
Selain itu, orangtua juga diharapkan memastikan bahwa sarapan anak mengandung nutrisi seimbang, sesuai dengan pedoman makan “Isi Piringku” dari Kemenkes.
“Makanan bergizi seimbang dan kaya zat besi bisa mencegah anemia dan kurang gizi di usia anak. Tentunya, asupan gizi selama sekolah sangat penting untuk memenuhi kebutuhan energi dan mendukung proses belajar,” pungkas Nila.
https://lifestyle.kompas.com/read/2024/10/23/140333120/anak-sd-yang-kekurangan-gizi-berisiko-memiliki-working-memory-rendah