Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Seperti Paramitha Rusady, Mengapa Banyak Orangtua Ingin Anak Tetap Tinggal Serumah Setelah Menikah?

KOMPAS.com - Aktris dan penyanyi senior Paramitha Rusady mengungkapkan dalam sebuah acara televisi tentang keinginannya agar anak semata wayangnya tetap tinggal bersama setelah menikah.

Meskipun, Paramitha akan menyerahkan keputusan pada sang anak dan tidak akan memaksakan kehendak.

  • Paramitha Rusady Ingin Anak Tinggal Bersamanya Setelah Menikah, Apa Kata Psikolog?
  • 5 Cara Menyelesaikan Konflik dengan Mertua 

Paramitha mungkin hanya satu dari sekian banyak orangtua di Indonesia yang punya keinginan sama, yakni ingin anaknya tetap tinggal satu atap setelah menikah.

Tidak ada salah maupun benar tentang pilihan masing-masing orang tentang tempat tinggal setelah menikah.

Namun, apa saja alasan orangtua ingin anaknya tetap tinggal bersama meskipun sudah berkeluarga? Intip penjelasan psikolog.

Alasan orangtua ingin anak tinggal serumah setelah menikah

Psikolog Yohana Domikus menjelaskan bahwa keinginan ini seringkali berakar dari tantangan psikologis yang dialami orangtua seiring bertambahnya usia.

Menurut Yohana, salah satu penyebab utama orangtua menginginkan anaknya tinggal serumah adalah munculnya emptiness syndrome, yaitu perasaan sedih dan kekosongan mendalam yang dialami ketika anak-anak mereka mulai hidup mandiri.

“Jadi saat umur-umur, mungkin 50 ke atas, itu sudah mulai terasa. Terlebih ketika anak-anak memilih tinggal sendiri, muncul rasa kesepian atau emptiness syndrome,” jelas Yohana saat dihubungi, Selasa (31/12/2024).

  • Tinggal Serumah dengan Mertua Bikin Ibu Menyusui Makin Stres, Benarkah?
  • 5 Tips Menjalin Hubungan Harmonis Menantu dengan Mertua 

Situasi ini akan semakin terasa jika orangtua sudah kehilangan pasangan hidupnya. Mereka cenderung merasa kesepian dan sulit beradaptasi dengan kondisi rumah yang lebih sepi dibandingkan ketika anak-anak masih tinggal bersama.

Perasaan kosong ini cenderung lebih dirasakan oleh para orangtua yang tinggal di perkotaan karena karakteristik masyarakatnya yang relatif individualistik.

Sebaliknya, orangtua yang tinggal di pedesaan cenderung memiliki lebih banyak interaksi sosial dengan tetangga atau saudara yang tinggal di dekatnya, sehingga rasa sepi tersebut bisa lebih teredam.

“Bahkan kalau di desa itu, keponakan atau saudaranya itu tetangga sendiri. Jadi tidak terlalu sepi dan interaksi ini membuat orangtua lebih ceria,” tuturnya.

Yohana juga menambahkan bahwa keinginan orangtua untuk tinggal bersama anak setelah menikah sering kali didorong oleh kebiasaan budaya kolektivistik di Indonesia, di mana hubungan keluarga dianggap sebagai prioritas utama.

Meski begitu, Yohana menekankan bahwa keputusan tinggal bersama orangtua atau hidup terpisah sebaiknya tetap menjadi hak pasangan suami istri. Hal yang terpenting, lanjutnya, adalah menjaga komunikasi dan saling menghormati antara anak, pasangan, dan orangtua.

https://lifestyle.kompas.com/read/2024/12/31/190600420/seperti-paramitha-rusady-mengapa-banyak-orangtua-ingin-anak-tetap-tinggal

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com