Psikolog Agata Paskarista mengungkap, salah satu hal yang paling berdampak adalah bagaimana proses perpisahan itu dikelola, termasuk konflik internal antara orangtua yang turut disaksikan anak.
“Kemarahan anak biasanya muncul bukan dari keputusan bercerainya. Tetapi dari cara perpisahan itu dikelola, atau konflik-konflik yang terjadi antara orangtua, yang mungkin sudah lama terjadi,” jelas Agata kepada Kompas.com, Rabu (9/4/2025).
Anak yang menyaksikan pertengkaran terus-menerus, atau bahkan mendengar salah satu orangtua menjelekkan pihak lainnya, berisiko mengalami luka batin.
Situasi ini membuat anak merasa dikhianati orangtua, terutama jika anak dibiarkan begitu saja tanpa penjelasan.
Ia menegaskan, anak merupakan individu yang terdampak langsung dari konflik orangtua, sehingga butuh penjelasan mengenai apa yang terjadi kepada orangtuanya.
“Seringkali anak marah karena dia itu tidak dihormati sebagai individu yang juga terkena dampak atas konflik orang tua,” tuturnya.
Meskipun dari luar anak tampak tenang, tapi bisa saja mereka menyimpan luka secara diam-diam.
Luka tersebut bisa berkembang menjadi masalah emosional yang lebih serius di kemudian hari.
“Anak bisa diam, anak bisa menyimpan, tapi di dalam diamnya itu bisa tumbuh luka,” tambah Agata.
Oleh karenanya, agar anak tidak menjadi korban dari konflik orangtua, penting bagi kedua orangtua untuk menjauhkan anak dari pertengkaran dan memberi penjelasan yang jujur serta penuh kasih.
https://lifestyle.kompas.com/read/2025/04/12/193100920/bukan-perceraian-yang-buat-anak-terluka-tapi-cara-orangtua-menghadapi