Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Fenomena Flexing di Media Sosial, Tanda Seseorang Butuh Validasi Orang Lain

KOMPAS.com - Tren flexing kerap terjadi di media sosial. Orang-orang yang flexing tersebut tak segan memamerkan dirinya duduk di Kelas Bisnis di pesawat, punya barang branded, punya harta melimpah, dan liburan ke luar negeri. 

Tak hanya soal gaya hidup, flexing juga bisa dalam bentuk menunjukkan pencapaian karier atau pendidikan. 

  • Mengapa Orang Suka Flexing di Media Sosial? Sosiolog Jelaskan Alasannya
  • Bukan Flexing, Riset Ungkap 4 Alasan Gen Z Bikin Konten Olahraga

Meski sering dianggap sebagai ekspresi kebanggaan, ternyata perilaku ini punya kaitan erat dengan kebutuhan psikologis dan sosial seseorang.

Psikolog dan sosiolog menilai, flexing bukan hanya soal pamer, melainkan juga tanda bahwa seseorang membutuhkan validasi atau pengakuan dari orang lain.

Psikolog Klinis Maria Fionna Callista menjelaskan, flexing bisa ditinjau dari sisi kebutuhan psikologis manusia. Menurutnya, setiap orang pasti memiliki kebutuhan dasar, dari kebutuhan primer hingga kebutuhan emosional.

“Kalau dari sisi psikologis, flexing itu biasanya bisa dijelaskan terkait dengan kebutuhan manusia,” jelas Fionna saat diwawancarai Kompas.com, Rabu (3/9/2025).

Ia menyebut, kebutuhan manusia tidak hanya sebatas sandang, pangan, dan papan, tapi juga kebutuhan untuk mendapatkan rasa aman, kasih sayang, dan pengakuan dari lingkungan sosialnya.

Perilaku flexing ini termasuk dalam kebutuhan manusia akan pengakuan dari lingkungan sekitar. 

“Kemudian ada juga pemengahan emosionalnya, needs (kebutuhan) untuk affection (afeksi), security (keamanan), termasuk juga kebutuhan untuk recognition atau diakui dan dihargai,” jelasnya. 

Fionna menambahkan, media sosial menjadi sarana yang memberikan feedback (umpan balik) cepat bagi orang yang melakukan flexing. 

Hal inilah yang membuat perilaku ini semakin sering dilakukan banyak orang akhir-akhir ini.

“Ketika melakukan flexing di sosial media, biasanya kita juga mendapatkan instant feedback, berupa likes atau misalnya komentar pujian dan lain sebagainya,” ujarnya.

Menurutnya, bentuk pujian atau perhatian tersebut bisa membuat seseorang merasa dihargai dan diakui. 

Inilah yang membuat flexing sering dianggap sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan psikologis terkait pengakuan sosial.

“Perilaku ini salah satu bentuk dari recognition atau pengakuan yang kita dapatkan dari hasil flexing,” tambahnya.

Sementara itu, dari sisi sosiologis, tren flexing kerap muncul di kalangan masyarakat kelas menengah. Hal ini disampaikan oleh Nia Elvina, sosiolog dari Universitas Nasional (Unas).

“Saya kira fenomena flexing ini berkembang di kalangan masyarakat kelas menengah,” kata Nia saat dihubungi Kompas.com, Selasa (2/9/2025).

Seperti yang disampaikan oleh Fionna, Nia setuju bahwa salah satu tujuan utama orang melakukan flexing adalah untuk mendapatkan validasi dari anggota masyarakat lain.

“Tujuan dari anggota masyarakat yang melakukan tindakan ini adalah ingin divalidasi oleh anggota masyarakat lain,” jelas Nia.

Lebih jauh, Nia menilai, flexing kerap digunakan sebagai simbol status sosial. Dengan menampilkan gaya hidup mewah, seseorang ingin menunjukkan bahwa dirinya sudah berada di level masyarakat mapan atau kelas atas.

“Mereka ingin menunjukkan kalau sudah posisi di kelas atas, kelas masyarakat mapan, atau dengan kata lain kalangan old money,” jelasnya.

Namun, ia mengungkap, fenomena ini juga bisa menjadi cerminan lemahnya ikatan sosial seseorang dengan orang-orang terdekatnya.

Kurangnya validasi dan rasa dihargai dari lingkungan terdekat, membuat seseorang memilih untuk memamerkan apa yang ia miliki di media sosial agar mendapatkan pengakuan dari orang lain.

“Secara sosiologis, anggota masyarakat yang melakukan tindakan ini juga dilihat sebagai anggota masyarakat yang kurang mempunyai ikatan yang kuat dengan pasangan atau orang-orang terdekatnya,” terang Nia.

Nia menegaskan, dalam kondisi ideal, kebahagiaan atau pencapaian pribadi seharusnya bisa dibagikan terlebih dahulu kepada orang terdekat, bukan kepada publik luas di media sosial.

“Idealnya, kita bisa berbagi keinginan dan kebahagiaan dengan orang terdekat kita atau pasangan kita, bukan di media sosial,” ujarnya.

Menurutnya, ketika seseorang lebih memilih berbagi di media sosial ketimbang dengan lingkaran terdekat, itu bisa menandakan adanya kebutuhan lebih besar untuk memperoleh pengakuan dari orang luar.

Fenomena flexing di media sosial pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan manusia akan pengakuan sosial. 

Dari sisi psikologis, hal ini berkaitan dengan kebutuhan untuk dihargai. Dari sisi sosiologis, perilaku ini menunjukkan adanya keinginan untuk naik kelas secara simbolis di hadapan publik.

Meski begitu, para ahli mengingatkan, validasi paling sehat seharusnya datang dari diri sendiri dan orang-orang terdekat, bukan semata dari likes atau komentar di media sosial.

https://lifestyle.kompas.com/read/2025/09/03/103500220/fenomena-flexing-di-media-sosial-tanda-seseorang-butuh-validasi-orang-lain

Terkini Lainnya

Remaja Mudah Stres karena Media Sosial? Psikolog Ungkap Pemicunya
Remaja Mudah Stres karena Media Sosial? Psikolog Ungkap Pemicunya
Wellness
Takut Berotot? Irsani Luruskan Mitos Latihan Beban untuk Perempuan
Takut Berotot? Irsani Luruskan Mitos Latihan Beban untuk Perempuan
Wellness
Efek Berbahaya Gigi Berlubang, Salah Satunya adalah Penyakit Jantung
Efek Berbahaya Gigi Berlubang, Salah Satunya adalah Penyakit Jantung
Wellness
Waspadai 7 Tanda Bos yang Toxic, Bisa Ganggu Kesehatan Mental
Waspadai 7 Tanda Bos yang Toxic, Bisa Ganggu Kesehatan Mental
Wellness
4 Cara Aman Hadapi Kekerasan Berbasis Gender Online
4 Cara Aman Hadapi Kekerasan Berbasis Gender Online
Wellness
Saat Ibu Kehilangan Diri Pasca Melahirkan, Latihan Beban Justru Menyelamatkan Irsani
Saat Ibu Kehilangan Diri Pasca Melahirkan, Latihan Beban Justru Menyelamatkan Irsani
Wellness
Ramalan Zodiak Libra di Bulan Desember, Peluang Baru Menanti
Ramalan Zodiak Libra di Bulan Desember, Peluang Baru Menanti
Wellness
Cara Cinta Laura Atasi Insecure dan Membangun Percaya Diri
Cara Cinta Laura Atasi Insecure dan Membangun Percaya Diri
Beauty & Grooming
Dampak Jangka Panjang Screen Time, dari Gangguan Fisik hingga Perilaku
Dampak Jangka Panjang Screen Time, dari Gangguan Fisik hingga Perilaku
Parenting
Sering Scroll Medsos, Remaja Jadi Mudah Mencari Validasi Menurut Psikolog
Sering Scroll Medsos, Remaja Jadi Mudah Mencari Validasi Menurut Psikolog
Wellness
Dari Body Shaming Rita Sukses Capai Berat Badan Ideal Tanpa Olahraga
Dari Body Shaming Rita Sukses Capai Berat Badan Ideal Tanpa Olahraga
Wellness
Mengapa Efek Screen Time pada Kemampuan Bahasa Anak Bisa Berbeda-beda
Mengapa Efek Screen Time pada Kemampuan Bahasa Anak Bisa Berbeda-beda
Parenting
Cinta Laura Tak Tergiur Cara Instan Dapatkan Kulit Glowing
Cinta Laura Tak Tergiur Cara Instan Dapatkan Kulit Glowing
Beauty & Grooming
Luna Maya Ungkap Efek Rutin Minum Vitamin Kulit untuk Perlambat Penuaan
Luna Maya Ungkap Efek Rutin Minum Vitamin Kulit untuk Perlambat Penuaan
Beauty & Grooming
Cerita Sari, Ibu Mertua yang Menguatkan Langkah Menantunya Jadi Ibu Bekerja
Cerita Sari, Ibu Mertua yang Menguatkan Langkah Menantunya Jadi Ibu Bekerja
Parenting
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com