KOMPAS.com - Pernah merasa kesepian di tengah keramaian? Rasanya rindu akan keluarga di kampung halaman, tapi kamu tidak bisa pulang. Kamu berusaha tersenyum dan tertawa, tapi di dalam hati rasanya hampa.
"Kesepian bukan tiada orang di samping kita. Walaupun ramai, rasanya tidak terhubung secara sosial dan emosional. Jadi lebih rentan terjadi pada para perantau, walaupun yang tidak merantau pun sangat mungkin merasa kesepian," kata psikolog klinis dewasa, Sri Juwita Kusumawardhani, M.Psi, Psikolog dalam acara BE Radio Indonesia, Kamis (2/10/2025).
Psikolog yang berpraktik di Kemang, Jakarta Selatan, ini menuturkan, klien yang kesepian banyak ia temui sejak pandemi Covid-19 melanda.
"Awalnya mulai dari COVID, orang-orang yang mungkin memang terjebak di kost-an sendirian," ucap dosen FPPSI Universitas Negeri Jakarta ini.
Lantas, apa saja penyebab kesepian?
Bagi para perantau, kesepian bisa disebabkan karena mereka jauh dari keluarga dan punya masalah terkait adaptasi.
"Jadi mungkin yang baru-baru sampai di Ibu Kota, belum sampai enam bulan, rasanya kok homesick. Itu bisa jadi karena mungkin mereka belum selesai masa adaptasinya sehingga memunculkan rasa sepi," jelas anggota Ikatan Psikolog Klinis (IPK) ini.
Tidak hanya itu, terkadang pekerjaan mengharuskan mereka bekerja dari mana saja (work from anywhere atau WFA) sehingga terasa "sendiri-sendiri" dan tidak bersama tim di kantor. Hal tersebut memicu rasa ketidakhubungan secara sosial.
Ada pula kesepian yang bersumber dari dalam diri seseorang. Ia merasa tak punya keterampilan yang sebanding dengan rekan-rekannya yang lain sehingga ia merasa rendah diri dan merasa tidak pantas bergaul dengan mereka.
Padahal mungkin orang-orang di sekitarnya merasa biasa-biasa saja, atau bahkan tidak bermasalah dan bisa jadi ramah atau hangat.
Juwita menuturkan, kesepian bukanlah sesuatu yang bisa dilihat secara fisik atau sosial.
Walaupun seseorang terlihat punya teman banyak atau sudah punya pasangan, bahkan sudah menikah dan punya anak, ia bisa saja merasa kesepian.
"Biasanya ketika kita mempersepsikan bahwa kita memang sepi, enggak ada yang mendukung kita, terus rasanya kok kebutuhan kita bersama orang-orang terdekat tidak terpenuhi dengan baik. Punya teman, tapi misalkan semuanya jauh-jauh, itu bisa menjadi ciri orang yang sebenarnya merasa kesepian. Tinggal dianya mau mengakui atau tidak," jelasnya.
Ada pertanyaan tentang orang-orang selalu tersenyum dan tertawa di depan teman-temannya, tapi di baliknya ia merasa sedih. Apakah hal tersebut termasuk kesepian?
Juwita menuturkan, hal tersebut karena secara tidak sadar ada tuntutan di sosial untuk harus menampilkan citra yang positif.
"Bahkan kalau ditanya apa kabar, jarang ada yang jawab, 'Oh, kabarku lagi enggak baik, kabarku sedih' atau, 'Lagi ada masalah nih'. Pasti orang akan bilang, 'Oh ya, baik-baik aja'," kata Juwita.
"Balik lagi, itu mungkin, tanpa maksud nge-judge kelompoknya, bisa jadi dia belum merasa sepercaya itu dengan kelompoknya atau teman-teman dekatnya untuk menampilkan apa yang menjadi isi hatinya," tambahnya.
Ia melanjutkan, masyarakat Indonesia lebih merasa tabu untuk menceritakan masalah atau menunjukkan sisi kerapuhan diri.
Pernahkah kamu bertemu seseorang yang seolah tidak bisa sendirian? Ia seperti harus ditemani atau bersama orang lain kapan pun dan di mana pun.
Juwita menuturkan, manusia pastinya makhluk sosial, tapi ada waktunya manusia harus sendirian. Hal tersebut bisa dilakukan jika manusia tersebut secara mental dan psikologis.
"Tapi ketika kita tidak bisa tahan dengan kesendirian yang memang harus kita hadapi, nah jangan-jangan memang ada rasa kosong yang perlu kita isi terus. Itu yang perlu kita cari tahu, kenapa kok kita harus selalu ada orang (lain)," ucapnya.
Kesepian, menurut Juwita, termasuk faktor pemicu seseorang mengakhiri hidup. Kesepian secara emosional dan sosial sama sakitnya seperti rasa sakit fisik.
"Bahkan bukan cuma memicu masalah mental, seperti kecemasan, depresi, tapi juga bisa memicu seperti sakit jantung, hal-hal yang intinya bisa berkaitan dengan fisik," tuturnya.
Bagi para lanjut usia (lansia), mereka yang tidak kesepian akan lebih mampu berpikir jernih karena mereka punya ikatan sosial yang lebih baik.
Lantas, kapan seseorang memerlukan bantuan profesional karena kesepian?
Juwita mengatakan, bantuan profesional dibutuhkan bila seseorang sudah terganggu kesehariannya. Misalkan rasanya berat untuk pergi ke kantor, enggan bepergian bersama teman-teman tapi tidak nyaman dengan diri sendiri, atau performa pekerjaan atau perkuliahan menurun.
"Atau bahkan mungkin kalau ada symptom (gejala) seperti, kok jadi gampang sakit flu, maag," ucapnya.
Namun, Juwita mengimbau, meskipun terasa belum terganggu, tidak ada salahnya untuk melakukan check-up ke profesional.
"Kalaupun belum mengganggu dan ingin check-up aja enggak masalah lho, bukan berarti gangguan mental atau gila," pungkasnya.
Sebagai informasi, terdapat rangkaian acara Road to Kongres V IPK Indonesia yang membahas masalah kesepian. Selengkapnya bisa dilihat di akun Instagram @ipk_indonesia.
https://lifestyle.kompas.com/read/2025/10/02/203500920/fenomena-kesepian-di-keramaian-tersenyum-di-luar-tapi-hampa-di-dalam