KOMPAS.com - Menyaksikan orangtua meninggal bisa jadi pengalaman paling menyakitkan dalam hidup seseorang. Tak hanya meninggalkan rasa sedih yang mendalam, berduka juga bisa berlangsung lama dan kompleks.
Jika tidak diolah dengan baik, kondisi ini bahkan bisa berkembang menjadi gangguan psikologis yang disebut prolonged grief disorder atau duka berkepanjangan.
Psikolog Agata Paskarista, M.Psi., Psikolog., CPS mengatakan, saat rasa kehilangan mulai mengganggu fungsi sehari-hari, hal itu patut diwaspadai.
“Jika duka tidak diolah dengan baik, seseorang bisa mengalami prolonged grief disorder atau duka berkepanjangan,” ujar Agata saat diwawancarai Kompas.com, Rabu (15/10/2025).
Prolonged grief disorder adalah gangguan kesehatan mental yang menyebabkan seseorang mengalami kesedihan, kerinduan, dan rasa sakit yang sangat intens dan berkepanjangan setelah kehilangan orang terkasih
Menurut Agata, tanda seseorang mengalami duka berkepanjangan biasanya terlihat dari perubahan yang signifikan dalam perilaku dan kondisi psikologis.
“Kondisi tersebut biasanya dapat terlihat dari adanya gangguan tidur, turunnya motivasi, bukan hanya turun yang sekadar ringan saja tetapi sangat berubah daripada biasanya sampai yang mendalam,” jelasnya.
Ia menambahkan, kesedihan yang terasa begitu dalam dan menetap juga dapat menjadi tanda bahwa seseorang belum pulih dari kehilangan.
Dalam beberapa kasus, individu bahkan kesulitan menjalani aktivitas sehari-hari, merasa hampa terus-menerus, atau kehilangan arah hidup.
“Kesedihannya terasa begitu dalam, menetap hingga mengganggu fungsi sehari-hari, misalnya sulit beraktivitas, merasa hampa terus-menerus, atau kehilangan arah,” lanjutnya.
Jika dibiarkan, kondisi ini dapat berkembang menjadi gangguan mental lain, seperti depresi dan kecemasan.
Oleh karena itu, Agata menegaskan pentingnya mencari bantuan profesional untuk membantu proses pemulihan.
“Bisa juga muncul gejala depresi dan gejala kecemasan. Kondisi tersebut biasanya perlu terapi khusus dari profesional yaitu psikolog maupun ke psikiater,” tutur Agata.
Selain penanganan profesional, dukungan sosial dari orang-orang terdekat juga berperan besar dalam membantu seseorang melewati masa duka.
“Peran teman dan keluarga itu termasuk dukungan sosial, perannya besar dalam membantu seseorang melewati masa duka,” tutur Agata.
Dalam psikologi, konsep ini dikenal sebagai social support. Kehadiran orang-orang terdekat yang memberikan empati dan dukungan emosional bisa membantu menurunkan stres dan mempercepat proses pemulihan.
“Bagi orang yang sedang berduka, mereka bukan butuh nasihat atau solusi, tetapi kehadiran tulus dan empatik dari orang-orang yang ada di sekitarnya,” lanjutnya.
Menurut Agata, cukup dengan mendengarkan tanpa menghakimi dan menunjukkan bahwa kita siap hadir, sudah bisa menjadi bentuk dukungan yang berarti.
Dukungan kecil seperti menemani makan, beraktivitas ringan, atau sekadar menemani berbincang bisa membantu seseorang tetap merasa terhubung dengan dunia.
Meski setiap orang memiliki cara dan waktu yang berbeda dalam menghadapi duka, penting untuk mengenali kapan kesedihan mulai berdampak buruk pada keseharian.
Jika duka membuat seseorang tidak lagi berfungsi seperti biasanya, misalnya kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu disukai, menarik diri dari lingkungan sosial, atau terus-menerus merasa bersalah, saat itulah bantuan profesional dibutuhkan.
Psikolog atau psikiater dapat membantu individu memahami perasaannya, memvalidasi emosinya, dan menemukan cara yang sehat untuk beradaptasi.
“Tidak ada waktu pasti kapan seseorang harus pulih dari kehilangan. Namun, jika duka mulai mengganggu keseharian dan fungsi hidup, sebaiknya jangan ragu untuk mencari pertolongan,” ucap Agata.
https://lifestyle.kompas.com/read/2025/10/17/153500820/prolonged-grief-disorder-saat-duka-karena-orangtua-meninggal-jadi