Namun, tanpa disadari, kedekatan virtual sering kali menutupi rasa sepi yang justru makin dalam.
Fenomena ini menjadi karena kesepian bukan sekadar perasaan sementara, tapi bisa memberi dampak psikologis yang serius, bahkan pada orang yang terlihat “baik-baik saja”.
Psikiater Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ, yang juga direktur utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RS Marzoeki Mahdi, menjelaskan bahwa kesepian muncul ketika ada ketidaksesuaian antara kondisi sosial seseorang dengan perasaan di dalam dirinya.
“Kesepian kan sebenarnya manusia itu dalam hidup penghayatan perasaannya sebaiknya ada kesesuaian,” kata dr. Nova saat berbicara dalam Festival Kata 2025 yang diselenggarakan Kompas.id, di Jakarta, Jumat (17/10/2025).
“Kalau kita di tempat ramai, logikanya kita tidak kesepian. Tapi problem-nya (masalah), sekarang orang ngumpul malah tidak komunikasi satu sama lain,” lanjutnya.
Menurut dr. Nova, banyak orang kini hadir secara fisik dalam suatu pertemuan, tapi secara mental justru “menarik diri”.
Alih-alih menikmati momen bersama, mereka sibuk memotret, mengunggah foto, dan menunggu reaksi dari dunia maya.
“Mereka malah foto, habis itu posting hasil pertemuan mereka, dan yang mereka tunggu justru respons dari orang-orang virtual, bukan ngobrolin pertemuan itu,” ujarnya.
Perilaku seperti ini, lanjutnya, menunjukkan bahwa seseorang mulai kehilangan mindfulness atau kesadaran penuh terhadap momen yang sedang dijalani. Bahkan hal sederhana seperti makan pun sering dilakukan tanpa benar-benar dinikmati.
“Kita makan cuma kewajiban aja supaya enggak sakit, supaya ada asupan gizi. Tapi kita lupa menghargai makanan itu, rasanya, aromanya, teksturnya. Kita sibuk motret-motretin makanannya, sampai akhirnya udah enggak hangat. Itu gak mindful namanya,” katanya.
Menarik diri di tengah keramaian
Fenomena “ramai tapi sepi” ini oleh dr. Nova disebut sebagai bentuk withdrawal atau menarik diri dari komunikasi nyata meski sedang berada di tengah orang lain.
“Dalam kebersamaan kita withdraw, menarik diri dan masuk ke dunia virtual. Alih-alih berkomunikasi secara intens, kita malah mengisolasi pikiran dan kontak kita. Jadi kita isolating our mind (mengisolasi pikiran kita), isolating our communication (mengisolasi komunikasi kita),” ungkapnya.
Perilaku seperti ini bila terus berlangsung dapat membentuk kebiasaan (habit) yang tidak sehat.
Tanpa disadari, seseorang mulai kehilangan kemampuan untuk menjalin interaksi yang bermakna dengan orang lain.
Dr. Nova juga menyoroti perbedaan antara generasi yang tumbuh sebelum era digital dengan generasi muda saat ini. Bagi para digital native, dunia virtual sudah menjadi bagian dari kehidupan sejak lahir.
“Kalau digital native sudah biasa seperti itu, memang hidup dia di situ. Sedangkan yang boomer atau generasi X masih punya opsi, pernah ngerasain cara komunikasi lama,” tuturnya.
Karena tidak pernah mengalami bentuk interaksi yang lebih hangat dan langsung, generasi muda sering merasa ada yang “kurang” dalam hubungan sosial mereka, meski tidak tahu apa yang hilang.
“Mereka merasa there is something missing (ada sesuatu yang hilang), tapi enggak tahu apa. Karena mereka enggak pernah ngerasain. Tapi ada rasa ketidakpuasan dalam quality of communication atau quality of interaction (kualitas interaksi) antar manusia,” ujarnya.
Belajar mengenali dan memperbaiki
Kesadaran untuk mengenali kesepian ini penting agar seseorang bisa segera memulihkan diri sebelum dampaknya makin jauh.
Dr. Nova menilai, itulah mengapa pelatihan life skill atau keterampilan hidup seperti mengelola emosi, membuat keputusan, dan menghadapi stres perlu dikuatkan sejak dini.
“Anak-anak sekarang kita gencar banget dilatih life skill. Karena memang mereka punya keterbatasan dalam pola interaksi antar manusia,” ucapnya.
Kesepian tidak selalu tampak dari luar. Kadang, ia hadir diam-diam di antara tawa, obrolan, dan foto-foto di media sosial.
Mengenalinya adalah langkah pertama untuk kita terhubung kembali, bukan hanya dengan orang lain, tapi juga dengan diri sendiri.
https://lifestyle.kompas.com/read/2025/10/18/190300920/mengapa-banyak-orang-merasa-kesepian-di-era-digital-psikiater-ungkap