Nutrisionis RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Yudhi Adrianto, S.Gz, S.E, MKM, AIFO, menjelaskan bahwa mindfulness diet atau “diet cerdas” menggabungkan gizi seimbang, kebiasaan hidup bersih dan sehat, serta kesadaran akan keberlanjutan pangan.
Menurut Yudhi, masyarakat masih sering mengartikan diet sebagai pembatasan makanan. Padahal dalam kesehatan, diet adalah pedoman makan sesuai kebutuhan tubuh dan kondisi klinis.
“Diet adalah aturan untuk mengontrol pola makan, bukan sekadar mengurangi,” ujarnya dalam siaran Radio Kesehatan Kemenkes RI, dikutip pada Senin (17/11/2025).
Pendekatan ini penting karena pola makan harian berkaitan langsung dengan risiko obesitas sekaligus kesehatan ginjal, dua masalah yang sering luput diperhatikan.
Diet bukan soal larangan, tetapi cara mengatur makan
Dalam praktik klinis, diet memiliki banyak jenis dan disesuaikan kondisi pasien, mulai dari diet diabetes, diet rendah garam untuk hipertensi, diet tinggi serat untuk obesitas, hingga diet khusus untuk penderita penyakit ginjal.
Karena itu, kata Yudhi, diet tidak bisa disamakan dengan pengurangan makan. Kuncinya adalah kesadaran terhadap apa yang dikonsumsi, porsinya, dan bagaimana makanan memengaruhi tubuh.
“Mindfulness itu makan dengan sadar, bukan asal kenyang,” katanya.
Hubungan diet, obesitas, dan risiko penyakit ginjal
Obesitas menjadi salah satu penyebab utama diabetes dan hipertensi.
Kedua penyakit ini kemudian meningkatkan risiko kerusakan ginjal karena organ tersebut harus bekerja lebih keras menyaring darah.
“Pola makan tinggi energi, tinggi gula, garam, dan lemak, tetapi rendah serat, membuat tubuh menyimpan kelebihan energi sebagai lemak. Lama-lama terjadi obesitas,” jelas Yudhi.
Pada tahap ini, muncul resistensi insulin yang memicu diabetes, dan tekanan darah tinggi yang membebani ginjal.
Kebiasaan konsumsi makanan ultraprocessed juga memperberat kerja ginjal. Natrium berlebih, misalnya pada mi instan yang mengandung hingga 800 mg per porsi, membuat tubuh menahan cairan dan memaksa ginjal bekerja lebih keras.
“Kalau sehari makan mi dua kali, natriumnya saja sudah melebihi kebutuhan harian,” kata Yudhi.
Mindfulness diet, lebih sadar kandungan gizi dan kebiasaan makan
Yudhi mengajak masyarakat untuk membaca label gizi sebelum membeli produk makanan.
Hal ini penting karena banyak produk kemasan mengandung gula, garam, dan lemak dalam jumlah tinggi, tetapi sering dianggap aman karena porsinya kecil.
Selain itu, ia mengingatkan bahaya kebiasaan makan terlalu cepat, ngemil tanpa sadar, hingga makan mendekati jam tidur.
Mindfulness diet membantu seseorang memperhatikan rasa lapar yang sebenarnya, bukan makan karena bosan atau stres.
Porsi makan seimbang: ikuti pedoman “Isi Piringku”
Untuk menjalankan pola makan sehat, Yudhi menyarankan mengikuti pedoman gizi seimbang Kemenkes melalui konsep Isi Piringku, yakni:
Aktivitas fisik juga menjadi bagian dari diet cerdas.
“Minimal tiga sampai lima kali seminggu untuk menjaga metabolisme dan berat badan tetap ideal,” ujarnya.
Frekuensi dan waktu makan dalam diet cerdas
Yudhi menyarankan makan tiga kali sehari dengan jarak teratur, serta menambahkan satu hingga dua camilan sehat.
Pola makan yang acak atau terlalu jarang dapat mengganggu metabolisme dan memicu makan berlebihan pada malam hari.
Ia juga meluruskan anggapan bahwa diet berarti tidak makan nasi.
Menurutnya, karbohidrat tetap diperlukan sebagai sumber energi utama.
“Tidak makan nasi sama sekali membuat tubuh lemas. Yang penting porsinya dan sumber karbohidratnya,” terangnya.
Karbohidrat bisa berasal dari nasi, jagung, atau roti, selama jumlahnya sesuai kebutuhan tubuh.
Mindfulness diet membantu seseorang membuat keputusan makan yang lebih sadar, seimbang, dan sesuai kebutuhan tubuh.
Dengan gizi seimbang, pembatasan gula-garam-lemak, konsumsi sayur dan buah, serta aktivitas fisik rutin, risiko obesitas maupun gangguan ginjal dapat ditekan.
https://lifestyle.kompas.com/read/2025/11/17/210500220/mengenal-mindfulness-dalam-diet-ini-penjelasan-nutrisionis