Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ahli Bagikan 6 Cara Menghadapi Keluarga yang Toxic

KOMPAS.com - Tak hanya hubungan romantis, hubungan keluarga juga bisa menjadi toxic jika tanda-tandanya dibiarkan sejak awal. Dinamika keluarga yang toxic bisa berupa sikap mengontrol, meremehkan, hingga melanggar batas pribadi.

Jika kamu tidak bisa menjaga jarak sepenuhnya dari keluarga, ada beberapa cara yang dapat membantu menjaga kesehatan emosionalmu. Berikut enam cara menghadapi keluarga yang toxic menurut para ahli.

6 Cara menghadapi keluarga yang toxic

1. Tetapkan konsekuensi saat batasan dilanggar

Menetapkan batasan adalah langkah paling dasar untuk melindungi kesehatan mental saat menghadapi keluarga yang toxic. 

Namun, batasan saja tidak cukup, kamu perlu menetapkan konsekuensi yang jelas ketika batasan tersebut dilanggar.

Menurut Angela Sitka, terapis pernikahan dan keluarga, menentukan konsekuensi membuatmu lebih terlindungi secara emosional, meski keluarga tetap bersikap toxic.  

“Menetapkan konsekuensi bukan berarti mereka langsung berubah, tetapi setidaknya kamu bisa mencegah diri dari rasa sakit yang tidak perlu,” jelasnya, seperti dikutip dari Business Insider, Kamis (4/12/2025).

Contoh konsekuensinya:

“Jika kamu membicarakan buruk pasanganku, aku akan menutup telepon.”

“Jika kamu mengomentari berat badanku, aku akan pulang.”

Bersikap tegas seperti ini dapat menegaskan bahwa perilaku toxic tidak akan kamu toleransi.

2. Batasi waktu bertemu 

Ketika hubungan keluarga sudah terlalu melelahkan, membatasi durasi pertemuan bisa menjadi strategi yang aman. 

Konselor kesehatan mental berlisensi, GinaMarie Guarino menyarankan agar kamu menentukan waktu jelas sebelum bertemu.

“Beritahu mereka sejak awal bahwa kamu hanya tersedia untuk makan siang satu jam atau panggilan telepon 30 menit,” ujarnya.

Dengan begitu, peluang terjebak dalam percakapan yang toxic atau konflik emosional bisa berkurang, dan kamu tetap punya kendali penuh atas kualitas interaksi.

3. Siapkan strategi untuk menghindari situasi yang toxic

Berada dalam lingkungan toxic tanpa persiapan bisa membuatmu kewalahan. Oleh karena itu, Guarino menyarankan memiliki exit strategy sebelum bertemu keluarga. 

Alasannya bisa berupa urusan pekerjaan, mempersiapkan transportasi pulang sendiri, atau membawa teman yang dapat kamu jadikan jalan keluar.

Sitka menambahkan, memiliki mantra sederhana juga membantu menenangkan diri. 

“Mengulang dalam hati bahwa ‘Aku bisa pergi kapan pun aku mau’ dapat membuatmu lebih kuat secara mental,” tuturnya.

Exit strategy memastikan kamu tidak terjebak lebih lama di dalam situasi toxic yang membuat stres.

4. Bangun support system

Menurut Candace Kotkin-De Carvalho, pekerja sosial klinis berlisensi, membangun lingkaran dukungan di luar keluarga sangat penting bagi seseorang yang tumbuh dalam keluarga toxic.

“Kamu tidak bisa memilih keluarga biologismu, tetapi kamu bisa memilih keluarga yang mencintai dan menghormatimu,” ujarnya.

Support system bisa berupa sahabat, rekan kerja, komunitas, atau kelompok dukungan bagi mereka yang berasal dari keluarga disfungsional. 

Dukungan seperti ini membuatmu tidak merasa sendirian saat menghadapi keluarga toxic.

5. Siapkan kalimat antisipasi untuk menahan percakapan toxic

Salah satu ciri keluarga toxic adalah sering menyinggung, mengontrol, atau memicu rasa bersalah. 

Maka dari itu, Sitka merekomendasikan menyiapkan kalimat antisipasi agar kamu tidak terjebak dalam reaksi emosional spontan. Misalnya, ketika keluarga mencoba guilt-tripping atau membalikan rasa bersalah karena kamu menolak hadir di acara tertentu. 

Kamu bisa menggunakan jawaban seperti, “Aku tahu ini sulit kamu terima, tapi aku memang tidak bisa datang sekarang. Aku akan bertemu di acara berikutnya.”

Strategi ini membuatmu tetap tenang dan tidak terseret pola komunikasi toxic.

6. Lakukan self-care untuk memulihkan emosi

Pekerja sosial klinis, Steve Carleton menjelaskan, berinteraksi dengan keluarga toxic sangat menguras emosi, sehingga perawatan diri tidak boleh diabaikan.

“Ini dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik, jadi penting untuk meluangkan waktu melakukan self-care,” ujarnya.

Self-care bisa berupa menulis jurnal, berjalan di alam, meditasi atau yoga, bermain dengan hewan peliharaan, membaca buku favorit, atau sekadar mandi air hangat.

Langkah ini bisa membuat kondisi mental lebih kuat sehingga kamu tidak mudah terpengaruh perilaku toxic keluarga.

Jika situasi semakin sulit, terapi keluarga juga bisa menjadi pilihan. Menurut Guarino, konselor dapat membantu mengurai emosi yang terpendam dan memperbaiki dinamika yang tidak sehat.

Menghadapi keluarga yang toxic memang tidak mudah, tetapi dengan strategi yang tepat, kamu tetap bisa menjaga batasan, kesehatan mental, dan kesejahteraanmu.

https://lifestyle.kompas.com/read/2025/12/05/083500720/ahli-bagikan-6-cara-menghadapi-keluarga-yang-toxic-

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com