Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Salah, Kelas Pranikah Tak Hanya untuk Orang-orang Broken Home

Kompas.com, 15 Agustus 2024, 12:30 WIB
Nabilla Ramadhian,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Masih ada yang beranggapan, kelas pranikah hanya untuk orang-orang yang tumbuh dalam kondisi broken home.

Pasalnya, mereka yang broken home tidak memiliki orangtua dengan hubungan yang harmonis, sehingga dikhawatirkan hal serupa terjadi dalam pernikahannya.

Namun, psikolog keluarga sekaligus konsultan pranikah yang berpraktik di Semarang, Jawa Tengah, Sukmadiarti, M.Psi., meluruskan hal tersebut.

Baca juga: Mengenal Kelas Pranikah, Kelas untuk Membekali Diri tentang Pernikahan

"Yang keluarganya harmonis pun perlu, karena membekali diri dengan ilmu (termasuk ilmu pernikahan) kan juga kewajiban," tutur dia saat dihubungi Kompas.com, beberapa waktu lalu.

Sebab, tidak ada manusia yang sempurna. Orangtua yang mampu membina rumah tangga dan anak-anaknya pun, tentu tidak luput dari kesalahan.

Ketika menghadapi masalah dan harus mengatasinya, orangtua juga belum tentu melakukannya dengan sempurna.

Dikatakan Sukmadiarti, kelas pranikah dapat membantu "menambal" ilmu pernikahan yang mungkin telah dipelajari calon pengantin (catin), selama mengobservasi pernikahan orangtuanya.

"Biasanya di kelas pranikah ada sesi release. Misal (catin) dari latar belakang broken home, ada yang mental block (terkait pernikahan), itu bisa dibantu," ucap Sukmadiarti.

Baca juga: Apa Saja yang Bisa Jadi Poin Kesepakatan dalam Perjanjian Pranikah?

Misalnya, deretan latar belakang itu menyebabkan mereka tidak berani menikah dengan pasangannya. Padahal, mereka sudah lama pacaran.

"Ternyata, dari sisi salah satunya ada (trauma) terkait keuangan. Dulu orangtuanya kurang berperan dalam hal ekonomi, sehingga dia melihat ibunya ada perasaan sedih karena harus banting tulang," jelas dia.

Alhasil, mereka memiliki ketakutan tidak bisa menafkahi atau tidak dihargai secara finansial oleh calon istri atau suami, meski saat ini statusnya sudah mapan.

Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk tidak melangkah ke jenjang pernikahan.

"Itu bisa dibantu dalam sesi konseling, tidak hanya kelas pranikah. Barangkali butuh (konsultasi) lanjutan, bisa konsultasi pranikah dengan psikolog. Lebih privat. Jadi, bisa dibantu menggali area spesifik yang menghambat dirinya itu terkait apa," pungkas Sukmadiarti.

Baca juga: Sering Disepelekan, Pastikan Persiapan Hal-hal Ini Sebelum Menikah

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau