Uraikan lika-liku Anda mengasuh anak jadi lebih simpel
Kenali soal gaya asuh lebih apik lewat konsultasi Kompas.com
KOMPAS.com - Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern, termasuk di kalangan anak-anak.
Namun, paparan yang terlalu dini terhadap platform ini dapat membawa dampak negatif yang serius.
Berikut adalah beberapa dampak buruk penggunaan media sosial bagi anak-anak.
Salah satu dampak signifikan media sosial adalah rendahnya self-esteem pada anak-anak.
"Sehingga self esteem-nya diletakkan kepada like, dislike, comment, engagement, dan segala macam itu loh," ujarnya ketika diwawancarai Kompas.com, Selasa (3/12/2024).
Baca juga: Australia Larang Remaja di Bawah 16 Tahun Main Media Sosial, Mungkinkah Diterapkan di Indonesia?
Banyak dari mereka menggantungkan rasa percaya diri pada kepopuleran di media sosial. Hal ini menciptakan standar palsu tentang nilai diri.
“Kalau kita yang dewasa saja bisa tergoncang secara mental, apalagi anak-anak yang lebih muda dengan otak yang belum matang,” lanjutnya.
Anak-anak menjadi rentan terhadap rasa tidak berharga, terutama jika mereka tidak sesuai dengan standar kecantikan atau popularitas yang sering ditampilkan di dunia maya.
Penggunaan media sosial juga dapat menyebabkan seorang anak menjadi tidak fokus dalam menjalani kehidupan asli.
"Sebegitu attached-nya, jadi anak-anak menjadi tidak fokus dengan real life. Hidupnya dia sibuk dengan gadget, update status," jelas Ratih.
Mereka lebih banyak menghabiskan waktu menggunakan gadget, daripaada melakukan hal lain seperti bermain dan belajar.
Baca juga: Jaga Kesehatan Mental, Begini 3 Cara Hadapi Komentar Negatif di Media Sosial
Media sosial juga membuka jalan bagi manipulasi informasi, disinformasi, dan ideologi berbahaya.
Algoritma yang dirancang untuk merekomendasikan konten sering kali mengarahkan anak-anak pada komunitas atau informasi yang berpotensi merugikan.
"Terhubungnya by algorithm dengan orang-orang tertentu dan orang-orang itu punya impact negatif ke anak. Anak kita bisa jadi korban, ya dia ikut ke-cult," tutur Ratih.
Dalam beberapa kasus, ini bisa mengarah pada keterlibatan dengan sekte atau komunitas ideologis yang membahayakan.
Tidak hanya informasi, konten seperti musik, video, atau gambar juga dapat memengaruhi perilaku anak secara drastis.
Contoh kasusnya adalah seorang anak yang terpapar lagu-lagu dengan narasi kekerasan dan simbol-simbol gelap, yang akhirnya mengalami gangguan psikotik.
Baca juga: Berkaca dari Kasus Remaja Bunuh Ayah dan Nenek, Apa Stres Belajar Bisa Timbulkan Perilaku Agresif?
“Tadinya anak itu manis, tetapi setelah sering mendengar lagu-lagu seperti itu perilakunya jadi kebalikan,” ungkap Ratih.
Paparan konten negatif juga bisa membuat anak memiliki pandangan ekstrem yang tidak baik.
"Dulu ada pasien saya yang tidak mau mandi. Karena buat dia, mandi itu adalah indoktrinasi kapitalisme," tuturnya.
Penggunaan media sosial memberikan akses yang luas untuk anak-anak berhubungan dengan orang lain.
Sehingga, bisa menjadi pintu masuk bagi kejahatan seperti pedofilia, child grooming, dan perdagangan manusia.
"Itu juga membuat anak-anak rentan Jadi mangsa pedofilia, trafficking juga kan pasti gerbangnya lewat sosial media banyaknya," kata Ratih.
Anak-anak yang aktif di media sosial tanpa pengawasan menjadi target yang mudah bagi pelaku kejahatan.
Baca juga: Waspada, Media Sosial Bisa Jadi Gerbang Masuknya Child Grooming
Selain itu, konten pornografi dapat dengan mudah diakses, bahkan oleh anak-anak usia dini, yang dapat berdampak negatif pada perkembangan psikologis mereka.
"Tidak sesederhana konsep yang kita pikir "Ah ini baik". Ini (penggunaaan media sosial) adalah pedang bermata banyak banget," tutup Ratih menegaskan banyaknya dampak buruk penggunaan medos bagi anak.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang