Faktor norma sosial juga memengaruhi bagaimana seseorang mengembangkan empati. Sebab, seseorang punya pertimbangan tentang respons terhadap sesuatu atau orang lain.
Bisa jadi, mereka enggan berempati berdasarkan pertimbangan bahwa mereka kurang “oke” secara norma sosial yang dianut oleh suatu kelompok.
“Respons empatik bukan hanya ditentukan dari perasaan, tapi juga dipengaruhi oleh norma sosial suatu kelompok. Bisa jadi ketika mau mengatakan, ‘Eh, kamu kasihan ya’, ternyata norma sosial kelompoknya mengatakan, ‘Kamu enggak boleh melakukan itu karena orang itu adalah musuh’,” jelas Clement.
Ketika berempati terhadap orang lain atau suatu situasi, tetapi norma sosial kelompoknya bertentangan, ia pun pada akhirnya menjadi tidak berempati.
Kasus mahasiswa yang menertawakan kematian temannya di Bali bikin miris. Ini penjelasan psikolog soal mengapa ada orang nirempati.Faktor kompetitif masih berkaitan dengan faktor norma sosial yang dianut oleh suatu kelompok. Bisa saja, seseorang menganggap bahwa kelompoknya harus lebih tinggi dibandingkan orang lain.
Mereka tidak peduli dengan orang-orang di luar kelompoknya sehingga empati akan sulit untuk tumbuh dalam individu yang tergabung dalam kelompok tersebut.
“Individu itu sudah attached dengan kelompok itu, sehingga akan terbentuk semacam group think (pemikiran kelompok). Dia akan ikutan kelompoknya bahwa orang lain di luar kelompoknya harus lebih rendah maka empati akan sulit tumbuh di lingkungan seperti itu,” jelas Clement.
Baca juga:
Faktor situasional misalnya adalah ketika seseorang sedang stres berat karena pekerjaan sehingga kemungkinan untuk berempati lebih rendah.
“Kita sudah terlalu capek dengan emosi kita sendiri, dengan tekanan kita sendiri, maka menyulitkan kita untuk bisa memahami orang lain, kita sulit untuk berempati,” papar Clement.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang