Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Penyebab Seseorang Gampang Panik? Ini Penjelasan Psikolog

Kompas.com, 24 Oktober 2025, 14:35 WIB
Devi Pattricia,
Ni Nyoman Wira Widyanti

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Apa penyebab seseorang gampang panik, khususnya ketika menghadapi situasi yang sebenarnya tidak terlalu genting?

Sebagai contoh, ia mudah panik ketika menghadapi perubahan kecil dalam rencana, lupa membawa barang, atau tiba-tiba dihubungi atasan. 

Baca juga:

Menurut psikolog Irma Gustiana, reaksi panik seperti itu bisa jadi bukan sekadar sifat bawaan, tapi hasil dari pengalaman masa lalu dan pola pikir yang tertanam sejak lama.

Apa penyebab seseorang gampang panik? 

Bisa berawal dari tuntutan untuk selalu sempurna

Psikolog Irma Gustiana dalam acara Media Gathering #TenangBersamaBlueBird, di Jakarta Selatan, Kamis (17/10/2025)KOMPAS.com/DEVI PATTRICIA Psikolog Irma Gustiana dalam acara Media Gathering #TenangBersamaBlueBird, di Jakarta Selatan, Kamis (17/10/2025)

Irma menjelaskan, seseorang bisa tumbuh menjadi pribadi yang mudah panik karena sejak kecil didoktrin untuk selalu sempurna dan tidak boleh salah.

“Seseorang menjadi panikan itu karena dulunya dia pernah didoktrin untuk harus sempurna, harus bisa sehingga otaknya akan dalam keadaan yang selalu siaga,” kata Irma dalam acara Media Gathering #TenangBersamaBlueBird, di Jakarta Selatan, belum lama ini.

Kondisi ini membuat seseorang hidup dalam kewaspadaan berlebih. Otak seolah tak pernah bisa beristirahat dan terus mencari potensi ancaman, bahkan di situasi yang sebenarnya aman.

Irma menyebut, hal ini bisa termasuk sebagai respons trauma masa lalu yang tidak disadari.

“Jadi di dalam dirinya itu akan ada perasaan yang mengancam di sekitar dia. Kondisi ini bisa termasuk sebagai trauma respon masa lalu,” tambahnya.

Baca juga:

Panik datang dari perasaan tak aman

Psikolog Irma Gustiana menjelaskan, seseorang gampang panik akibat tuntutan untuk selalu sempurna dan trauma masa lalu yang belum disadari.Dok. Freepik/katemangostar Psikolog Irma Gustiana menjelaskan, seseorang gampang panik akibat tuntutan untuk selalu sempurna dan trauma masa lalu yang belum disadari.

Menurutnya, rasa panik sering muncul ketika seseorang menghadapi situasi yang memicu kembali kenangan atau emosi tak menyenangkan pada masa lalu.

“Kondisi panik itu bisa membuat seseorang tegang karena dia menganggapnya dalam kondisi yang bahaya,” jelasnya.

Sebagai contoh, seseorang yang dulu sering dimarahi karena melakukan kesalahan kecil bisa tumbuh menjadi pribadi yang sangat takut membuat kesalahan di tempat kerja.

Saat menghadapi situasi yang serupa, seperti lupa mengirim laporan atau telat datang rapat, tubuhnya akan langsung bereaksi secara fisik, misalnya jantung berdebar, napas pendek, dan keringat dingin.

“Bisa jadi seseorang punya pengalaman yang tidak enak sehingga ketika dihadapkan dengan kondisi yang sama, perasaan tegang itu muncul,” ujar Irma.

Bagaimana jika seseorang gampang panik?

Cobalah ngobrol ke diri sendiri

Psikolog Irma Gustiana menjelaskan, seseorang gampang panik akibat tuntutan untuk selalu sempurna dan trauma masa lalu yang belum disadari. Psikolog Irma Gustiana menjelaskan, seseorang gampang panik akibat tuntutan untuk selalu sempurna dan trauma masa lalu yang belum disadari.

Bagaimana cara menghadapi rasa panik agar tidak mengganggu aktivitas sehari-hari? Irma menyarankan untuk mulai berdialog dengan diri sendiri.

“Cara yang harus dilakukan ketika muncul rasa panik tersebut adalah ngobrol dengan diri sendiri,” katanya.

Meskipun terdengar sederhana, berbicara lembut pada diri sendiri adalah cara efektif untuk menenangkan sistem saraf dan mengembalikan kesadaran penuh.

“Sampaikan ke diri sendiri kalau tidak apa-apa kok, panik ini bisa aku hadapi. Sebab, perasaan panik ini bisa menjadi gangguan jika dibiarkan,” tambahnya.

Ia menyebutkan, menerima bahwa panik adalah reaksi alami tubuh bisa membantu seseorang lebih tenang. 

Dengan begitu, otak tidak lagi memperlakukan setiap situasi menegangkan sebagai ancaman yang harus dilawan.

Baca juga:

Belajar mengenali batas dan melatih pikiran tenang

Selain berbicara dengan diri sendiri, penting juga untuk mengenali tanda-tanda awal kepanikan. Misalnya, napas mulai cepat, tangan dingin, atau jantung berdebar.

Ketika tanda-tanda itu muncul, cobalah menarik napas dalam-dalam dan fokus pada pernapasan. Beri tubuh kesempatan untuk menenangkan diri sebelum pikiran semakin kacau.

Irma menekankan, menjadi tenang bukan berarti menghilangkan semua perasaan takut, tetapi melatih diri agar tetap sadar bahwa panik tidak selalu menandakan bahaya nyata.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau