Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Perceraian Raisa dan Hamish Daud, Psikolog Ingatkan Media Sosial Bukan Tolok Ukur Hubungan

Kompas.com, 28 Oktober 2025, 19:35 WIB
Devi Pattricia,
Ni Nyoman Wira Widyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Kabar perceraian Raisa dan Hamish Daud mengejutkan publik, padahal keduanya kerap tampil mesra dan harmonis di berbagai kesempatan, termasuk di media sosial.

Adapun Raisa diketahui mengajukan gugatan cerai melalui sistem e-court di Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada 22 Oktober 2025.

Baca juga:

Belajar dari hubungan keduanya, Psikolog klinis Winona Lalita R., M.Psi., Psikolog, mengatakan, publik perlu belajar dari kasus ini untuk tidak menjadikan media sosial sebagai tolok ukur hubungan yang ideal.

“Kita bisa mengambil pembelajaran bahwa citra diri ataupun citra hubungan yang dilihat melalui sosial media bukanlah tolak ukur dari relasi yang ideal dan sehat,” jelas Winona saat diwawancarai Kompas.com, Senin (27/10/2025).

Belajar dari perceraian Raisa dan Hamish Daud

Media sosial bukan cerminan kehidupan nyata seseorang

Menurut Winona, setiap hubungan memiliki dinamika dan nilai yang berbeda-beda. Apa yang terlihat baik-baik saja di depan umum belum tentu menggambarkan kondisi sebenarnya di dalam hubungan itu sendiri.

“Terlebih, bagaimana setiap orang menilai dan menjalani sebuah hubungan itu berbeda-beda. Yang terlihat baik-baik saja, kita tidak tahu di dalamnya atau realitanya seperti apa,” ujarnya.

Ia menegaskan, media sosial hanyalah potongan kecil dari kehidupan seseorang, yang sering kali menampilkan sisi terbaik dan menyembunyikan bagian sulit.

Maka dari itu, masyarakat sebaiknya tidak langsung menganggap pasangan yang tampak bahagia di dunia maya pasti tidak memiliki masalah.

Baca juga:

Bahayanya standar hubungan akibat media sosial

Kasus perceraian Raisa dan Hamish Daud jadi pengingat bahwa kebahagiaan di media sosial tak selalu mencerminkan kenyataan. Ini penjelasan psikolog.Freepik Kasus perceraian Raisa dan Hamish Daud jadi pengingat bahwa kebahagiaan di media sosial tak selalu mencerminkan kenyataan. Ini penjelasan psikolog.

Fenomena media sosial saat ini bahkan melahirkan istilah baru yang disebut “standar TikTok” yakni kecenderungan warganet untuk menilai hubungan orang lain berdasarkan unggahan di platform digital.

“Kita juga perlu belajar bahwa media sosial itu bisa jadi salah satu hal yang bikin kita punya ekspektasi terhadap relasi yang kita akan bangun. Makanya sekarang ada istilah standar TikTok,” kata Winona.

Ia menjelaskan, istilah itu hadir karena banyak orang membandingkan kehidupan pribadi mereka dengan pasangan yang terlihat sempurna di dunia maya, padahal tidak tahu kondisi sesungguhnya di balik layar.

“Istilah tersebut muncul karena para netizen dengan mudahnya menilai hubungan seseorang harmonis dan dijadikan tolak ukur, padahal tidak tahu dalamnya seperti apa,” lanjutnya.

Winona mengingatkan agar masyarakat tidak menelan mentah-mentah standar sosial yang muncul di media sosial, sebab setiap pasangan memiliki nilai dan kebutuhan yang unik.

“Padahal kalau digali lagi, nilai yang dipahami dan dipegang dalam relasi setiap orang itu berbeda. Jadi tidak bisa disamaratakan standar dalam menjalani hubungan seperti di media sosial,” jelasnya.

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau