KOMPAS.com – Publik ramai membahas soal perilaku agresif remaja kembali mencuat setelah kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta yang memicu keprihatinan.
Insiden tersebut berani dilakukan oleh seorang siswa yang dikabarkan kerap mengonsumsi konten kekerasan di internet. Hal itu membuat banyak orangtua khawatir terhadap dampak paparan konten kekerasan di dunia digital.
Lantas, seberapa besar pengaruh konten kekerasan terhadap perkembangan perilaku dan empati anak?
Psikolog Grace Eugenia Sameve, M.A., M.Psi., menjelaskan, paparan konten kekerasan, baik dari lingkungan maupun internet berperan signifikan dalam membentuk cara anak memahami dunia dan merespons situasi. Jika berlangsung terus-menerus, hal ini bahkan berpotensi menumpulkan empati mereka.
Baca juga: Warga Tolak Wacana Pembatasan Game Online Imbas Ledakan di SMA 72 Jakarta
Mengapa konten kekerasan bisa mempengaruhi perilaku anak?
Grace menyebut, anak belajar melalui proses meniru apa yang ia lihat di sekelilingnya.
“Salah satu cara anak belajar adalah dengan meniru apa yang dilihat di internet atau yang ada di sekitarnya,” kata Grace saat dihubungi Kompas.com, Jumat (15/11/2025).
Situasi menjadi lebih berisiko ketika anak terpapar kekerasan dari dua arah sekaligus, yaitu lingkungan sekitar dan internet, tanpa mendapatkan contoh perilaku positif sebagai pembanding.
“Jika anak terekspos kekerasan di dua konteks, yakni lingkungan sekitar dan internet, serta tidak mendapatkan eksposur perihal cara berperilaku lain, bisa jadi ia akan lebih mungkin menerapkan perilaku tersebut,” ujarnya.
Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi media anak berperan penting dalam membentuk respons mereka terhadap konflik maupun interaksi sosial.
Baca juga: Anak Korban Bullying, Ini Saran Psikolog untuk Orangtua Berkaca dari Ledakan di SMAN 72 Jakarta
Pelaksanaan TKA di SMAN 10 Surabaya pada Selasa (4/11/2025)Paparan berulang dapat menumpulkan empati
Sejumlah studi juga telah menunjukkan konsekuensi lain yang tak kalah serius. Grace mengatakan, remaja yang terlalu sering mengakses konten berisikan kekerasan cenderung mengalami penurunan kepekaan sosial.
“Studi menunjukkan bahwa remaja yang terlalu sering mengakses media berbau kekerasan akan merasa kurang khawatir (less concern) terhadap orang lain yang mengalami kesulitan,” ungkap Grace.
Penurunan empati ini berdampak pada cara anak membaca emosi orang lain dan menilai konsekuensi dari tindakan mereka. Ketika empati melemah, remaja lebih rentan bersikap agresif atau menganggap kekerasan sebagai hal yang lumrah.
Baca juga: Belajar dari Kasus Bullying Mahasiswa Unud, Ini Pentingnya Empati di Dunia Maya
Bagaimana orangtua bisa mencegah dampaknya?