Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mugi Muryadi
Wiraswastawan dan Pendidik

Pegiat literasi, praktisi dan pemerhati pendidikan

Indonesia Negara Paling Flourishing: Serius atau Lelucon?

Kompas.com, 8 Desember 2025, 21:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

STUDI Global Flourishing Study (GFS) dari Universitas Harvard yang dipublikasikan di Nature Mental Health menempatkan Indonesia sebagai juara dunia dalam kesejahteraan psikologis atau flourishing.

Global Flourishing Study merupakan hasil kerja sama antara Harvard Human Flourishing Program, Baylor University, Gallup, dan Center for Open Science. Studi tersebut melibatkan lebih dari 200.000 responden dari 23 negara dan wilayah, dilakukan selama periode 2022–2024 (Kemenag, 9/11/2025).

Penelitian ini mengukur indikator seperti kesehatan, kebahagiaan, tujuan hidup, karakter, hubungan sosial, stabilitas finansial, dan spiritualitas. Hasilnya, Indonesia mencatat skor 8,3 dan merupakan skor tertinggi di antara negara-negara lain, mengungguli Amerika Serikat dan negara maju lainnya. Di bawahnya menyusul Israel (7,87), Meksiko (7,64), dan Polandia (7,55).

Namun, apakah skor itu benar-benar mencerminkan kondisi psikologis masyarakat Indonesia saat ini? Jika menengok data kesehatan mental nasional, kita justru menemui realitas yang kompleks. Menurut hasil Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), lebih dari 17,9 juta remaja usia 10-17 tahun di Indonesia menghadapi masalah kesehatan mental. Angka tersebut mencakup gangguan seperti kecemasan, depresi, fobia sosial, PTSD, dan ADHD.

Dalam survei yang sama, prevalensi generalized anxiety disorder atau kecemasan umum adalah 3,7% di kalangan remaja. Sementara itu, survei Manulife Asia Care 2024 mencatat 56% responden khawatir akan stres dan burnout dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya itu, laporan terbaru menyebut prevalensi kecemasan nasional melonjak hingga 68,7% pada 2024–2025.

Angka-angka ini bukan sekadar statistik melainkan cermin tekanan psikologis yang nyata menyergap jutaan warga Indonesia. Dengan dua gambaran yang bertolak belakang tersebut, muncul paradoks besar, yakni mengapa skor “flourishing” Indonesia begitu tinggi, padahal gejala tekanan mental melonjak?

Baca juga: Indonesia Nomor Satu Negara Paling Sejahtera, Ungguli Jepang dan AS

Jawabannya tidak sederhana. Namun, beberapa faktor dapat menjelaskan bagaimana dua kenyataan itu bisa hidup berdampingan. Pertama, metode pengukuran dalam GFS sepenuhnya berbasis self-report. Artinya, responden menjawab pertanyaan berdasarkan persepsi dan interpretasi pribadi.

Dalam konteks budaya Indonesia yang menjunjung optimisme, rasa syukur, dan kewajiban menjaga citra diri, jawaban positif bisa muncul karena norma sosial dan bukan karena kondisi mental yang benar-benar kuat. Dalam budaya kolektif, mengakui kesulitan mental bisa dianggap tanda kelemahan. Maka, jawaban yang diberikan cenderung lebih optimistis dibanding kondisi sebenarnya.

Kedua, faktor sosial dan spiritual memang menjadi kekuatan masyarakat Indonesia. Rasa kebersamaan kuat, ikatan keluarga, komunitas yang hidup, dan dimensi religius yang dalam memberikan rasa aman psikologis bagi banyak orang. Nilai-nilai ini menciptakan perasaan makna hidup dan keterikatan yang tinggi.

Banyak orang merasa “baik-baik saja” bukan karena bebas dari stres, tetapi karena masih memiliki jaringan dukungan sosial yang stabil. Dalam banyak kasus, spiritualitas membuat orang merasa kuat menghadapi tekanan hidup. Ini tidak boleh diabaikan, karena menjadi sumber ketahanan mental yang signifikan.

Namun, tidak semua tekanan mental dapat diselesaikan oleh komunitas atau spiritualitas. Ada batas di mana masalah psikologis harus ditangani secara profesional. Dan pada titik ini, Indonesia menghadapi tantangan besar.

Rasio psikiater nasional hanya 1 per 200.000 penduduk, jauh dari standar WHO yaitu 1 per 30.000. Ini berarti akses bantuan profesional sangat terbatas. Di banyak daerah, layanan kesehatan jiwa bahkan tidak tersedia.

Selain itu, stigma terhadap gangguan mental masih sangat kuat. Banyak orang enggan mencari bantuan karena takut dicap “lemah” atau “bermasalah”. Akibatnya, banyak masalah mental tidak tercatat atau tidak terungkap dalam survei subjektif seperti GFS.

Sementara itu, tekanan sosial dan ekonomi juga semakin berat. Kenaikan biaya hidup, kesenjangan pendapatan, konflik agraria, hingga ketidakpastian pekerjaan memberi beban tambahan bagi banyak keluarga.

Beban finansial bukan sekadar persoalan ekonomi. Ia adalah pemicu stres yang sangat signifikan. Banyak warga menjalani hidup di antara dua kenyataan, yakni rasa syukur menjadi budaya religius yang kuat dan tekanan hidup yang makin menumpuk. Kombinasi ini bisa membuat orang menjawab optimistis dalam survei, tetapi tetap merasakan tekanan mental yang besar dalam keseharian.

Halaman:


Terkini Lainnya
Remaja Mudah Stres karena Media Sosial? Psikolog Ungkap Pemicunya
Remaja Mudah Stres karena Media Sosial? Psikolog Ungkap Pemicunya
Wellness
Takut Berotot? Irsani Luruskan Mitos Latihan Beban untuk Perempuan
Takut Berotot? Irsani Luruskan Mitos Latihan Beban untuk Perempuan
Wellness
Efek Berbahaya Gigi Berlubang, Salah Satunya adalah Penyakit Jantung
Efek Berbahaya Gigi Berlubang, Salah Satunya adalah Penyakit Jantung
Wellness
Waspadai 7 Tanda Bos yang Toxic, Bisa Ganggu Kesehatan Mental
Waspadai 7 Tanda Bos yang Toxic, Bisa Ganggu Kesehatan Mental
Wellness
4 Cara Aman Hadapi Kekerasan Berbasis Gender Online
4 Cara Aman Hadapi Kekerasan Berbasis Gender Online
Wellness
Saat Ibu Kehilangan Diri Pasca Melahirkan, Latihan Beban Justru Menyelamatkan Irsani
Saat Ibu Kehilangan Diri Pasca Melahirkan, Latihan Beban Justru Menyelamatkan Irsani
Wellness
Ramalan Zodiak Libra di Bulan Desember, Peluang Baru Menanti
Ramalan Zodiak Libra di Bulan Desember, Peluang Baru Menanti
Wellness
Cara Cinta Laura Atasi Insecure dan Membangun Percaya Diri
Cara Cinta Laura Atasi Insecure dan Membangun Percaya Diri
Beauty & Grooming
Dampak Jangka Panjang Screen Time, dari Gangguan Fisik hingga Perilaku
Dampak Jangka Panjang Screen Time, dari Gangguan Fisik hingga Perilaku
Parenting
Sering Scroll Medsos, Remaja Jadi Mudah Mencari Validasi Menurut Psikolog
Sering Scroll Medsos, Remaja Jadi Mudah Mencari Validasi Menurut Psikolog
Wellness
Dari Body Shaming Rita Sukses Capai Berat Badan Ideal Tanpa Olahraga
Dari Body Shaming Rita Sukses Capai Berat Badan Ideal Tanpa Olahraga
Wellness
Mengapa Efek Screen Time pada Kemampuan Bahasa Anak Bisa Berbeda-beda
Mengapa Efek Screen Time pada Kemampuan Bahasa Anak Bisa Berbeda-beda
Parenting
Cinta Laura Tak Tergiur Cara Instan Dapatkan Kulit Glowing
Cinta Laura Tak Tergiur Cara Instan Dapatkan Kulit Glowing
Beauty & Grooming
Luna Maya Ungkap Efek Rutin Minum Vitamin Kulit untuk Perlambat Penuaan
Luna Maya Ungkap Efek Rutin Minum Vitamin Kulit untuk Perlambat Penuaan
Beauty & Grooming
Cerita Sari, Ibu Mertua yang Menguatkan Langkah Menantunya Jadi Ibu Bekerja
Cerita Sari, Ibu Mertua yang Menguatkan Langkah Menantunya Jadi Ibu Bekerja
Parenting
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau