
Beberapa catatan resmi juga memperkuat gambaran tersebut. Di Jakarta, gejala depresi tercatat pada 9,3% penduduk, sementara gejala kecemasan mencapai 7,6%. Angka ini bisa lebih tinggi jika stigma menurun dan akses layanan meningkat.
Dalam realitas sehari-hari, keluhan insomnia, rasa cemas tanpa sebab jelas, burnout pekerjaan, dan tekanan akademik menjadi narasi umum, terutama di kalangan urban dan remaja. Kesenjangan antara persepsi flourishing dan indikator tekanan mental ini menunjukkan perlunya evaluasi ulang metode survei kesejahteraan psikologis.
Indikator subjektif harus dilengkapi data objektif seperti tingkat stres kronis, akses layanan mental, angka percobaan bunuh diri, dan tekanan ekonomi rumah tangga. Tanpa elemen tersebut, skor flourishing hanya menggambarkan “perasaan saat mengisi survei” tetapi bukan kondisi psikologis komprehensif masyarakat.
Baca juga: Riset Harvard Tempatkan Indonesia Jadi Negara Paling Sejahtera, Kalahkan AS
Meski demikian, skor tinggi Indonesia dalam GFS tidak sepenuhnya semu. Ada nilai positif di baliknya yang perlu dihargai, yaitu ketahanan sosial, kekuatan spiritual, dan ikatan komunitas yang tidak banyak dimiliki negara lain.
Di era global yang ditandai keterasingan sosial seperti fenomena loneliness epidemic di Barat, Indonesia justru menunjukkan relasi yang kuat dan jaringan sosial yang hidup. Ini modal besar menuju kesejahteraan mental jangka panjang.
Namun, modal sosial yang besar itu tetap harus dibangun dengan sistem dukungan profesional yang memadai. Karena itu, negara harus bergerak pada dua arah, yaitu memperkuat modal sosial yang sudah ada dan menutup kekurangan layanan kesehatan jiwa.
Literasi kesehatan mental harus diperluas melalui pendekatan berbasis komunitas. Tokoh agama, pemimpin lokal, organisasi pemuda, dan lembaga pendidikan perlu dilibatkan untuk membuka percakapan yang sehat tentang masalah mental. Masyarakat perlu belajar bahwa meminta bantuan bukan kelemahan, tetapi bentuk perawatan diri yang primer.
Teknologi bisa menjadi jalan keluar cepat. Pemerintah dapat memperkuat platform skrining mental berbasis digital menggunakan instrumen standar seperti SRQ-20 WHO. Telekonseling juga harus diperluas agar layanan mental dapat menjangkau daerah terpencil. Program konsultasi murah bahkan gratis untuk populasi rentan perlu diperluas secara terstruktur.
Peran pendidikan sangat penting. Sekolah perlu memasukkan modul regulasi emosi, manajemen stres, mindfulness, dan empati dalam kurikulum. Remaja perlu diajarkan cara membaca sinyal tubuh, mengelola pikiran negatif, mencari bantuan, dan mendukung teman yang kesulitan. Intervensi dini bisa memperkecil risiko gangguan mental di masa dewasa.
Klaim Indonesia sebagai negara paling flourishing di dunia tidak bisa ditelan mentah-mentah. Angka tersebut mencerminkan kekuatan sosial dan spiritual yang nyata, tetapi juga menyembunyikan tekanan psikologis yang berkembang di bawah permukaan.
Untuk menjadi benar-benar “flourishing”, Indonesia perlu membenahi sistem kesehatan jiwa, mengurangi stigma, memperluas akses profesional, dan memperkuat literasi mental.
Skor tinggi seharusnya tidak menjadi alasan berpuas diri, tetapi menjadi pengingat bahwa kita memiliki fondasi kuat yang perlu diperkokoh dengan kebijakan dan sistem dukungan yang matang. Dengan langkah itu, flourishing bukan lagi sekadar angka survei, tetapi menjadi keadaan nyata yang dirasakan seluruh warga.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang