
STUDI Global Flourishing Study (GFS) dari Universitas Harvard yang dipublikasikan di Nature Mental Health menempatkan Indonesia sebagai juara dunia dalam kesejahteraan psikologis atau flourishing.
Global Flourishing Study merupakan hasil kerja sama antara Harvard Human Flourishing Program, Baylor University, Gallup, dan Center for Open Science. Studi tersebut melibatkan lebih dari 200.000 responden dari 23 negara dan wilayah, dilakukan selama periode 2022–2024 (Kemenag, 9/11/2025).
Penelitian ini mengukur indikator seperti kesehatan, kebahagiaan, tujuan hidup, karakter, hubungan sosial, stabilitas finansial, dan spiritualitas. Hasilnya, Indonesia mencatat skor 8,3 dan merupakan skor tertinggi di antara negara-negara lain, mengungguli Amerika Serikat dan negara maju lainnya. Di bawahnya menyusul Israel (7,87), Meksiko (7,64), dan Polandia (7,55).
Namun, apakah skor itu benar-benar mencerminkan kondisi psikologis masyarakat Indonesia saat ini? Jika menengok data kesehatan mental nasional, kita justru menemui realitas yang kompleks. Menurut hasil Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), lebih dari 17,9 juta remaja usia 10-17 tahun di Indonesia menghadapi masalah kesehatan mental. Angka tersebut mencakup gangguan seperti kecemasan, depresi, fobia sosial, PTSD, dan ADHD.
Dalam survei yang sama, prevalensi generalized anxiety disorder atau kecemasan umum adalah 3,7% di kalangan remaja. Sementara itu, survei Manulife Asia Care 2024 mencatat 56% responden khawatir akan stres dan burnout dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya itu, laporan terbaru menyebut prevalensi kecemasan nasional melonjak hingga 68,7% pada 2024–2025.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik melainkan cermin tekanan psikologis yang nyata menyergap jutaan warga Indonesia. Dengan dua gambaran yang bertolak belakang tersebut, muncul paradoks besar, yakni mengapa skor “flourishing” Indonesia begitu tinggi, padahal gejala tekanan mental melonjak?
Baca juga: Indonesia Nomor Satu Negara Paling Sejahtera, Ungguli Jepang dan AS
Jawabannya tidak sederhana. Namun, beberapa faktor dapat menjelaskan bagaimana dua kenyataan itu bisa hidup berdampingan. Pertama, metode pengukuran dalam GFS sepenuhnya berbasis self-report. Artinya, responden menjawab pertanyaan berdasarkan persepsi dan interpretasi pribadi.
Dalam konteks budaya Indonesia yang menjunjung optimisme, rasa syukur, dan kewajiban menjaga citra diri, jawaban positif bisa muncul karena norma sosial dan bukan karena kondisi mental yang benar-benar kuat. Dalam budaya kolektif, mengakui kesulitan mental bisa dianggap tanda kelemahan. Maka, jawaban yang diberikan cenderung lebih optimistis dibanding kondisi sebenarnya.
Kedua, faktor sosial dan spiritual memang menjadi kekuatan masyarakat Indonesia. Rasa kebersamaan kuat, ikatan keluarga, komunitas yang hidup, dan dimensi religius yang dalam memberikan rasa aman psikologis bagi banyak orang. Nilai-nilai ini menciptakan perasaan makna hidup dan keterikatan yang tinggi.
Banyak orang merasa “baik-baik saja” bukan karena bebas dari stres, tetapi karena masih memiliki jaringan dukungan sosial yang stabil. Dalam banyak kasus, spiritualitas membuat orang merasa kuat menghadapi tekanan hidup. Ini tidak boleh diabaikan, karena menjadi sumber ketahanan mental yang signifikan.
Namun, tidak semua tekanan mental dapat diselesaikan oleh komunitas atau spiritualitas. Ada batas di mana masalah psikologis harus ditangani secara profesional. Dan pada titik ini, Indonesia menghadapi tantangan besar.
Rasio psikiater nasional hanya 1 per 200.000 penduduk, jauh dari standar WHO yaitu 1 per 30.000. Ini berarti akses bantuan profesional sangat terbatas. Di banyak daerah, layanan kesehatan jiwa bahkan tidak tersedia.
Selain itu, stigma terhadap gangguan mental masih sangat kuat. Banyak orang enggan mencari bantuan karena takut dicap “lemah” atau “bermasalah”. Akibatnya, banyak masalah mental tidak tercatat atau tidak terungkap dalam survei subjektif seperti GFS.
Sementara itu, tekanan sosial dan ekonomi juga semakin berat. Kenaikan biaya hidup, kesenjangan pendapatan, konflik agraria, hingga ketidakpastian pekerjaan memberi beban tambahan bagi banyak keluarga.
Beban finansial bukan sekadar persoalan ekonomi. Ia adalah pemicu stres yang sangat signifikan. Banyak warga menjalani hidup di antara dua kenyataan, yakni rasa syukur menjadi budaya religius yang kuat dan tekanan hidup yang makin menumpuk. Kombinasi ini bisa membuat orang menjawab optimistis dalam survei, tetapi tetap merasakan tekanan mental yang besar dalam keseharian.