Tidak sedikit orang yang memilih memaklumi keluhan seperti gangguan ereksi, penurunan hasrat seksual, atau pada perempuan sulit menahan buang air kecil sebagai “kodrat” karena sudah tidak muda lagi.
Sebagian lainnya khawatir menjadi bahan pembicaraan orang di belakang, dinilai kurang baik, atau dianggap gagal menjalani peran sebagai pasangan. Persepsi inilah yang membuat banyak orang memilih diam, meski keluhan yang dialami terus berulang dan mengganggu keseharian.
“Nanti dibicarakan orang di belakang, dianggap jadi orang yang kurang baik. Atau dianggapnya namanya udah tua, yaudah itu kodratnya gitu. Padahal yang namanya kepuasan seksual, itu sebuah kebutuhan,” jelas dr. Dimas.
Baca juga: Rutin Berhubungan Intim Bisa Menurunkan Tingkat Depresi, Benarkah?
Pandangan-pandangan tersebut tidak sejalan dengan konsep kesehatan secara menyeluruh. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan kesehatan seksual sebagai bagian penting dari kesejahteraan seseorang, tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental dan sosial.
Adapun dr. Dimas selalu menekankan pentingnya meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa masalah kesehatan intim bukan hal yang harus ditutup-tutupi.
Ia menyebut, berbagai keluhan seperti disfungsi ereksi, ejakulasi dini, ukuran penis yang dianggap terlalu kecil, gangguan kesuburan, hingga testosteron rendah pada pria sebenarnya bisa ditangani secara medis. Begitu pula permasalahan kesehatan intim pada wanita.
“Kita mau meningkatkan awareness bahwa kalau misalnya punya masalah kesehatan seksual dan intim, disfungsi ereksi, atau mikropenis, lalu pada perempuan tadi inkontinensia, perubahan struktur pada organ intim setelah melahirkan, bisa loh itu ditangani dengan evidence based medicine,” tegasnya.
Baca juga: Kenali Tanda-tanda Trauma pada Balita Korban Kekerasan Seksual
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang