PADA suatu titik dalam satu dekade terakhir, kehadiran digital yang konstan berhenti menjadi tanda kemodernan dan mulai terasa seperti kewajiban sosial yang melelahkan. Notifikasi yang tak pernah berhenti, tuntutan untuk selalu merespons dengan cepat, dan ekspektasi untuk terus menunjukkan eksistensi melalui unggahan rutin membentuk lanskap sehari-hari banyak orang urban.
Di ruang kerja, di ruang publik, bahkan di ruang privat, koneksi daring seolah menjadi lapisan permanen kehidupan.
Namun justru di tengah saturasi inilah muncul pergeseran sikap yang menarik: semakin banyak individu, terutama di kalangan profesional, akademisi, dan kreatif, secara sadar memilih untuk jarang hadir secara daring. Mereka tidak mengumumkannya dengan manifesto, tidak menghapus akun secara demonstratif, tetapi secara konsisten tidak selalu online.
Fenomena ini kerap diringkas dengan ungkapan yang terdengar kasual namun sarat makna: being chronically offline is the new cool. Ungkapan tersebut tidak muncul dari ruang hampa. Ia tumbuh dari kelelahan kolektif terhadap ritme hidup yang terlalu cepat dan terlalu bising.
Dalam berbagai survei tentang penggunaan media sosial dan kesehatan mental, muncul pola yang konsisten: semakin tinggi intensitas keterhubungan, semakin tinggi pula tingkat distraksi, kecemasan, dan fragmentasi perhatian.
Baca juga: Meredakan Kecemasan dengan Latihan Mindfulness
Di kota-kota besar, di mana pekerjaan berbasis pengetahuan bergantung pada konsentrasi dan pengambilan keputusan, keterhubungan terus-menerus justru menjadi penghalang produktivitas.
Pertanyaan yang kemudian mengemuka bukan lagi seberapa cepat seseorang merespons pesan, melainkan seberapa dalam ia mampu berpikir. Dari sini, masalah yang lebih mendasar mulai terasa: apakah paradigma keberhasilan sosial dan profesional yang mensyaratkan kehadiran online tanpa henti masih relevan, atau justru mulai kontraproduktif.
Masalah tersebut bukan semata persoalan teknologi, melainkan persoalan perhatian sebagai sumber daya. Ekonom dan psikolog perilaku Herbert Simon sudah menyinggung jauh sebelum era media sosial bahwa kelimpahan informasi menciptakan kelangkaan perhatian. Dalam kerangka ini, perhatian menjadi komoditas yang diperebutkan, bukan hanya oleh platform digital, tetapi juga oleh institusi, organisasi, dan bahkan individu satu sama lain.
Ketika setiap aplikasi dirancang untuk menarik dan mempertahankan atensi selama mungkin, individu berada dalam posisi defensif, sering kali tanpa menyadarinya. Being chronically offline dapat dipahami sebagai respons terhadap kondisi ini, sebuah upaya merebut kembali kendali atas perhatian yang terus-menerus diperebutkan.
Baca juga: Penting untuk Kesehatan Mental, Pahami 5 Manfaat Detoks Digital bagi Remaja
Salah satu teori yang membantu menjelaskan dinamika ini datang dari ranah ekonomi digital dan psikologi kognitif, yakni teori attention economy. Dalam teori ini, perhatian dipandang sebagai mata uang utama dalam lingkungan informasi yang berlebih. Platform bersaing bukan terutama pada kualitas konten, melainkan pada kemampuannya mempertahankan pengguna selama mungkin.
Notifikasi, infinite scroll, dan algoritma personalisasi tidak netral; semuanya dirancang untuk memaksimalkan waktu layar. Dalam konteks ini, individu yang memilih untuk jarang online secara tidak langsung menolak logika dasar ekonomi perhatian. Ia mengambil sikap yang, meski tampak pasif, sebenarnya aktif: mengurangi eksposur terhadap mekanisme yang merancang perilaku secara halus namun persisten.
Di sisi filsafati, sikap ini juga dapat dibaca melalui pemikiran Hannah Arendt tentang vita activa dan ruang kontemplasi. Arendt, seorang filsuf politik abad ke-20 yang banyak merefleksikan kondisi manusia modern, mengingatkan bahwa kehidupan yang sepenuhnya terserap dalam aktivitas dan respons terus-menerus berisiko kehilangan dimensi berpikir.
Berpikir, bagi Arendt, membutuhkan jarak, jeda, dan kemampuan menarik diri sejenak dari arus peristiwa. Dalam dunia yang menuntut respons instan, jarak ini menjadi semakin sulit diciptakan.
Being chronically offline, dalam pembacaan ini, bukanlah sikap anti-sosial, melainkan upaya memulihkan ruang berpikir yang tergerus oleh tuntutan kehadiran konstan. Gambaran konkret dari dinamika ini dapat dilihat dalam praktik kerja di sektor teknologi dan kreatif. Banyak perusahaan rintisan yang pada awalnya merayakan budaya always online, komunikasi instan, dan transparansi real time, mulai merevisi pendekatan mereka.
Studi kasus yang sering dibicarakan adalah kebijakan komunikasi asinkron di beberapa perusahaan teknologi global, di mana karyawan didorong untuk tidak selalu online dan tidak diharapkan membalas pesan di luar jam tertentu.