Awalnya kebijakan ini dipandang radikal, bahkan berisiko menurunkan kolaborasi. Namun dalam evaluasi jangka menengah, banyak organisasi justru mencatat peningkatan kualitas output dan kepuasan kerja. Individu yang tidak terus-menerus terganggu notifikasi mampu bekerja lebih mendalam, merencanakan dengan lebih matang, dan membuat keputusan yang lebih reflektif.
Dari sini terlihat bahwa being chronically offline bukan semata preferensi personal, melainkan bagian dari eksperimen sosial yang lebih luas tentang cara manusia bekerja dan hidup di era digital.
Baca juga: Kenapa Detoks Digital itu Penting?
Namun sikap ini juga mengandung ambiguitas. Di satu sisi, ia menawarkan pembebasan dari tekanan konektivitas. Di sisi lain, ia berisiko menjadi simbol status baru. Seperti yang diamati oleh sosiolog Pierre Bourdieu, praktik-praktik tertentu yang awalnya berfungsi sebagai pembebasan dapat dengan cepat berubah menjadi penanda distingsi.
Dalam konteks ini, kemampuan untuk offline secara kronis sering kali hanya mungkin bagi mereka yang memiliki posisi, otonomi, atau sumber daya tertentu. Seorang eksekutif senior atau akademisi mapan dapat memilih untuk jarang online tanpa kehilangan peluang, sementara pekerja junior atau freelancer sering kali tidak memiliki kemewahan tersebut.
Analisis ini menunjukkan bahwa fenomena being chronically offline tidak dapat dibaca secara naif sebagai solusi universal. Ia beroperasi dalam struktur sosial yang tidak seragam. Namun justru di sinilah letak signifikansinya. Ketika semakin banyak figur publik, pemikir, dan pemimpin organisasi secara implisit menunjukkan bahwa mereka tidak selalu online, norma sosial mulai bergeser.
Respons cepat tidak lagi otomatis diasosiasikan dengan profesionalisme, dan keheningan tidak lagi selalu dibaca sebagai kelalaian. Norma baru ini membuka ruang bagi redefinisi produktivitas dan kehadiran. Implikasi dari pergeseran ini meluas ke ranah pendidikan, pekerjaan, dan interaksi sosial sehari-hari.
Di lingkungan akademik, misalnya, terdapat tekanan untuk terus mengikuti arus publikasi daring, diskusi media sosial, dan konferensi virtual. Namun semakin banyak akademisi yang secara terbuka membatasi kehadiran digital mereka melaporkan peningkatan kualitas penelitian dan kepuasan intelektual.
Mereka memilih membaca lebih dalam daripada merespons cepat, menulis dengan ritme sendiri daripada mengikuti siklus trending topic.
Pola yang sama mulai terlihat di kalangan kreatif, di mana periode offline sengaja dijadwalkan sebagai bagian dari proses kreatif, bukan sebagai jeda darurat akibat kelelahan. Dalam konteks masyarakat yang lebih luas, sikap ini juga mempengaruhi cara orang memaknai relasi.
Komunikasi yang tidak selalu instan menciptakan ekspektasi baru tentang kesabaran dan kehadiran. Percakapan tidak harus berlangsung terus-menerus sepanjang hari; ia dapat terputus dan disambung kembali tanpa kehilangan makna. Ini berlawanan dengan asumsi awal platform digital bahwa konektivitas tanpa jeda akan memperkuat relasi.
Pengalaman empiris banyak orang justru menunjukkan sebaliknya: relasi yang diberi jarak dan ritme cenderung lebih tahan lama dan tidak melelahkan. Dari sini muncul pertanyaan praktis tentang bagaimana individu dan institusi dapat menavigasi fenomena ini tanpa jatuh ke dalam romantisasi.
Baca juga: 4 Cara Ampuh Mengatasi Brain Rot, Salah Satunya Detoks Digital
Being chronically offline bukan berarti advokasi isolasi atau penolakan teknologi. Ia lebih tepat dipahami sebagai literasi baru, kemampuan mengelola kehadiran digital secara sadar. Seperti dikemukakan oleh Cal Newport, seorang penulis dan professor ilmu komputer yang banyak menulis tentang deep work, nilai utama dalam ekonomi pengetahuan bukanlah ketersediaan tanpa henti, melainkan kemampuan menghasilkan kontribusi bernilai tinggi.
Kemampuan tersebut membutuhkan kondisi kerja dan hidup yang tidak selalu kompatibel dengan konektivitas total. Dalam praktik sehari-hari, sikap ini dapat diterjemahkan ke dalam kebijakan kecil namun konsisten: batas waktu respons yang wajar, penghapusan notifikasi non-esensial, dan normalisasi komunikasi asinkron.
Di tingkat organisasi, ia dapat diwujudkan dalam ekspektasi kerja yang lebih realistis dan penghargaan terhadap hasil, bukan kehadiran daring. Di tingkat sosial, ia menuntut perubahan cara menilai komitmen dan profesionalisme.
Pada akhirnya, daya tarik dari being chronically offline terletak pada pesan implisitnya. Ia menyatakan bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh visibilitas konstan, bahwa kualitas tidak selalu sejalan dengan kecepatan, dan bahwa kehadiran yang dipilih dengan sadar lebih bermakna daripada kehadiran yang dipaksakan oleh sistem.
Dalam dunia yang semakin ramai dan cepat, sikap ini menawarkan estetika baru tentang ketenangan dan kendali. Ia terlihat cool bukan karena ingin menentang arus, melainkan karena memancarkan keyakinan bahwa tidak semua hal perlu segera direspons, tidak semua pikiran perlu segera dibagikan, dan tidak semua momen harus direkam dan diunggah.
Dengan demikian, being chronically offline bukan sebuah tren sementara, melainkan gejala kedewasaan budaya digital. Ia menandai pergeseran dari fase euforia konektivitas menuju fase refleksi tentang batas.
Selama teknologi tetap hadir dalam kehidupan manusia, ketegangan antara online dan offline akan selalu ada. Yang berubah adalah kesadaran bahwa tidak selalu berada di tengah arus justru dapat menciptakan ruang untuk berpikir, bekerja, dan hidup dengan lebih utuh. Dan mungkin, dalam kesenyapan yang disengaja itulah, bentuk keren yang baru menemukan momentumnya.
Baca juga: Setahun Tanpa Ponsel, Ini Efeknya pada Ed Sheeran
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang