Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Raymond Tjandrawinata
Dosen dan Peneliti

Prof Raymond Tjandrawinata, Dosen dan Peneliti Profesor di Unika Atmajaya, Full Member Sigma Xi, The Scientific Research Honor Society, Resipien Habibie Award dan WIPO Award, Kandidat Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan.

Being Chronically Offline Is the New Cool

Kompas.com, 11 Desember 2025, 09:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

Awalnya kebijakan ini dipandang radikal, bahkan berisiko menurunkan kolaborasi. Namun dalam evaluasi jangka menengah, banyak organisasi justru mencatat peningkatan kualitas output dan kepuasan kerja. Individu yang tidak terus-menerus terganggu notifikasi mampu bekerja lebih mendalam, merencanakan dengan lebih matang, dan membuat keputusan yang lebih reflektif.

Dari sini terlihat bahwa being chronically offline bukan semata preferensi personal, melainkan bagian dari eksperimen sosial yang lebih luas tentang cara manusia bekerja dan hidup di era digital.

Baca juga: Kenapa Detoks Digital itu Penting?

Namun sikap ini juga mengandung ambiguitas. Di satu sisi, ia menawarkan pembebasan dari tekanan konektivitas. Di sisi lain, ia berisiko menjadi simbol status baru. Seperti yang diamati oleh sosiolog Pierre Bourdieu, praktik-praktik tertentu yang awalnya berfungsi sebagai pembebasan dapat dengan cepat berubah menjadi penanda distingsi.

Dalam konteks ini, kemampuan untuk offline secara kronis sering kali hanya mungkin bagi mereka yang memiliki posisi, otonomi, atau sumber daya tertentu. Seorang eksekutif senior atau akademisi mapan dapat memilih untuk jarang online tanpa kehilangan peluang, sementara pekerja junior atau freelancer sering kali tidak memiliki kemewahan tersebut.

Analisis ini menunjukkan bahwa fenomena being chronically offline tidak dapat dibaca secara naif sebagai solusi universal. Ia beroperasi dalam struktur sosial yang tidak seragam. Namun justru di sinilah letak signifikansinya. Ketika semakin banyak figur publik, pemikir, dan pemimpin organisasi secara implisit menunjukkan bahwa mereka tidak selalu online, norma sosial mulai bergeser.

Respons cepat tidak lagi otomatis diasosiasikan dengan profesionalisme, dan keheningan tidak lagi selalu dibaca sebagai kelalaian. Norma baru ini membuka ruang bagi redefinisi produktivitas dan kehadiran. Implikasi dari pergeseran ini meluas ke ranah pendidikan, pekerjaan, dan interaksi sosial sehari-hari.

Di lingkungan akademik, misalnya, terdapat tekanan untuk terus mengikuti arus publikasi daring, diskusi media sosial, dan konferensi virtual. Namun semakin banyak akademisi yang secara terbuka membatasi kehadiran digital mereka melaporkan peningkatan kualitas penelitian dan kepuasan intelektual.

Mereka memilih membaca lebih dalam daripada merespons cepat, menulis dengan ritme sendiri daripada mengikuti siklus trending topic.

Pola yang sama mulai terlihat di kalangan kreatif, di mana periode offline sengaja dijadwalkan sebagai bagian dari proses kreatif, bukan sebagai jeda darurat akibat kelelahan. Dalam konteks masyarakat yang lebih luas, sikap ini juga mempengaruhi cara orang memaknai relasi.

Komunikasi yang tidak selalu instan menciptakan ekspektasi baru tentang kesabaran dan kehadiran. Percakapan tidak harus berlangsung terus-menerus sepanjang hari; ia dapat terputus dan disambung kembali tanpa kehilangan makna. Ini berlawanan dengan asumsi awal platform digital bahwa konektivitas tanpa jeda akan memperkuat relasi.

Pengalaman empiris banyak orang justru menunjukkan sebaliknya: relasi yang diberi jarak dan ritme cenderung lebih tahan lama dan tidak melelahkan. Dari sini muncul pertanyaan praktis tentang bagaimana individu dan institusi dapat menavigasi fenomena ini tanpa jatuh ke dalam romantisasi.

Baca juga: 4 Cara Ampuh Mengatasi Brain Rot, Salah Satunya Detoks Digital

Being chronically offline bukan berarti advokasi isolasi atau penolakan teknologi. Ia lebih tepat dipahami sebagai literasi baru, kemampuan mengelola kehadiran digital secara sadar. Seperti dikemukakan oleh Cal Newport, seorang penulis dan professor ilmu komputer yang banyak menulis tentang deep work, nilai utama dalam ekonomi pengetahuan bukanlah ketersediaan tanpa henti, melainkan kemampuan menghasilkan kontribusi bernilai tinggi.

Kemampuan tersebut membutuhkan kondisi kerja dan hidup yang tidak selalu kompatibel dengan konektivitas total. Dalam praktik sehari-hari, sikap ini dapat diterjemahkan ke dalam kebijakan kecil namun konsisten: batas waktu respons yang wajar, penghapusan notifikasi non-esensial, dan normalisasi komunikasi asinkron.

Di tingkat organisasi, ia dapat diwujudkan dalam ekspektasi kerja yang lebih realistis dan penghargaan terhadap hasil, bukan kehadiran daring. Di tingkat sosial, ia menuntut perubahan cara menilai komitmen dan profesionalisme.

Pada akhirnya, daya tarik dari being chronically offline terletak pada pesan implisitnya. Ia menyatakan bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh visibilitas konstan, bahwa kualitas tidak selalu sejalan dengan kecepatan, dan bahwa kehadiran yang dipilih dengan sadar lebih bermakna daripada kehadiran yang dipaksakan oleh sistem.

Dalam dunia yang semakin ramai dan cepat, sikap ini menawarkan estetika baru tentang ketenangan dan kendali. Ia terlihat cool bukan karena ingin menentang arus, melainkan karena memancarkan keyakinan bahwa tidak semua hal perlu segera direspons, tidak semua pikiran perlu segera dibagikan, dan tidak semua momen harus direkam dan diunggah.

Dengan demikian, being chronically offline bukan sebuah tren sementara, melainkan gejala kedewasaan budaya digital. Ia menandai pergeseran dari fase euforia konektivitas menuju fase refleksi tentang batas.

Selama teknologi tetap hadir dalam kehidupan manusia, ketegangan antara online dan offline akan selalu ada. Yang berubah adalah kesadaran bahwa tidak selalu berada di tengah arus justru dapat menciptakan ruang untuk berpikir, bekerja, dan hidup dengan lebih utuh. Dan mungkin, dalam kesenyapan yang disengaja itulah, bentuk keren yang baru menemukan momentumnya.

Baca juga: Setahun Tanpa Ponsel, Ini Efeknya pada Ed Sheeran

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau