Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Yang Kritis Menjadi Skeptis Berakhir Tragis

Kompas.com, 15 Desember 2017, 07:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Dunia kesehatan kita sedang dirundung Kejadian Luar Biasa (KLB), berupa bangkitnya penyakit Difteri. Kasus fatal tidak hanya menghantui usia balita, tapi juga sudah merenggut nyawa dewasa.

Penolakan vaksinasi atau imunisasi yang dijalankan setengah-setengah menjadi faktor penyebab wabah tersebut.

Sangat menarik untuk kita amati reaksi berbagai komunitas dan kalangan menghadapi ancaman infeksi yang serius ini.

Bahkan, ada sebagian orang yang menganggapnya sebagai hoax (saking sudah terlalu banyaknya berita bohong, barangkali) dan pihak pemda yang menolak wilayahnya disebut terjangkit KLB, akibat belum paham kriteria KLB yang sebenarnya.

[Baca juga : Jangan Salah Mengira, Waspadai Gejala-gejala Khas Difteri Ini]

Saat saya berbincang dengan beberapa teman perihal keengganan orang memberi vaksinasi ke anaknya, ada orang yang begitu gregetan hingga melontarkan kata-kata cukup pedas,”Tunggu saja sampai ada keluarganya yang kena, nah... baru tahu dia!”.

Sejenak saya berpikir keras, apa yang salah ya dengan semua program preventif promotif, sehingga tidak mendapat antusiasme publik. Padahal, jelas-jelas bertujuan melindungi semua orang dari kesakitan, kecacatan bahkan kematian?

Mau tak mau, kita harus melihat kembali ke belakang, memutar semua rekaman masa lalu yang sebetulnya menjadi oto-kritik pelaku dunia kesehatan.

Sayangnya, umpan balik seperti ini tidak pernah dibahas apalagi ditanggapi serius untuk memodifikasi cara pendekatan yang lebih baik.

Mulai dari vaksin palsu yang melunturkan rasa kepercayaan publik, hingga proses edukasi yang lebih bersifat seperti menuntut kepatuhan ketimbang pemahaman.

Tidak hanya urusan vaksinasi, hal mirip-mirip serupa terjadi belakangan ini - publik lebih mempercayai pelbagai himbauan kesehatan yang katanya ‘alami’ (tapi lebih banyak hoax-nya) ketimbang mendengar nasehat dokter, apalagi menjalankan prosedur tindakan medik yang jelas-jelas mempunyai dasar pembuktian yang ilmiah.

Kondisi tersebutlah yang kemudian dimanfaatkan habis-habisan oleh orang-orang yang punya keahlian menjual pil ajaib dan tongkat mujarab.

[Baca juga : Mari Mengintip Cara Dokter Tangani Pasien yang Diduga Difteri]

Tingginya kecepatan penyampaian informasi dan tunggang langgang berita membuat publik terpapar dengan banyak sensasi ketimbang edukasi.

Lihat betapa girasnya pelacak berita membeberkan semua kejadian miris dan mengundang emosi di pelosok daerah, mulai dari anak kurang gizi hingga kejadian heboh pasca imunisasi – ketimbang menampilkan data berapa banyak anak terselamatkan dari diare berkat dijalankannya Perilaku Hidup Bersih Sehat.

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau