Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 24 Juli 2018, 10:51 WIB
Kahfi Dirga Cahya,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Menjadi orangtua baru memang butuh adaptasi yang tidak mudah. Selain rasa bahagia, terkadang kecemasan terhadap tanggung jawab baru bisa menimbulkan gejala depresi.

Walau mayoritas dialami para ibu, namun ayah pun tak imun terhadap kondisi depresi pasca kelahiran anak.

Menurut penelitian terbaru yang dilakukan terhadap lebih dari 9.500 kunjungan orangtua ke klinik dokter anak, ditemukan bahwa 4,4 persen ayah dan 5 persen ibu terkena sindrom depresi atau post-partum depression.

“Fakta soal begitu banyak ayah baru mengalaminya adalah penting, karena depresi dapat memiliki konsekuensi serius jika tidak ditangani,” kata penulis studi utama, Erika Cheng yang juga seorang peneliti pediatrik di Indiana University School of Medicine di Indianapolis.

Dia melanjutkan, ayah yang depresi seringkali kurang berinteraksi dengan anak-anaknya, sehingga bisa berisiko muncul masalah kognitif dan perilaku. 

“Gejala depresi tersebut meliputi kesedihan, cepat marah, agitasi, dan kemarahan, butuh bantuan profesional,” ujar Cheng.

Dalam laporan yang dipublikasikan di JAMA Pediatrics, satu dari empat ibu mengalami depresi di beberapa titik selama fase kehamilan atau ketika anak-anak masih berusia belia.

Baca juga: Di Jepang Ada Kursus Menjadi Ayah dan Suami yang Baik

Para ibu lebih sering terdiagnosis karena lebih banyak terlibat pada pengasuhan anak.

Padahal, depresi orangtua dapat memiliki efek kesehatan fisik dan mental jangka panjang bagi anak-anak.

American Academy of Pediatrics merekomendasikan, semua orangtua—baik ibu dan ayah—juga turut serta memeriksa kesehatan mental saat kehamilan atau setelah persalinan.

Dari penelitian ini, hanya 31 persen sampel penelitian adalah para ayah. Selain itu, terungkap, dari 806 kunjungan ketika ayah menyelesaikan kuesioner pemeriksaan depresi, 36 pria diperiksa positif depresi. Jumlah ini hampir setara dengan proporsi ibu yang didiagnosa serupa.

Namun, setelah dievaluasi lebih mendalam, hanya 12 orang yang benar-benar positif depresi. 

Temuan ini menunjukkan, banyak ayah tidak terdiagnosa dan tidak diobati untuk depresi.

Perlu dicatat, penelitian ini memiliki keterbatasan, karena hanya dilakukan di lima klinik pediatrik di Indianapolis, dan mungkin memiliki hasil berbeda di tempat lain. 

Gejala depresi pada ibu dan ayah mungkin berbeda. Misalnya, para ibu bisa saja tiba-tiba menangis ketika mengurus anaknya, sementara para ayah mungkin menjadi lebih cepat marah, mengonsumsi alkohol, atau mengubah kebiasaan kerja.

“Hampir semua orang tua baru lelah, tetapi jika seorang ayah (atau ibu) terus-menerus merasa sedih, tidak dapat menikmati hal-hal yang biasanya mereka nikmati atau merasa tertekan, mereka dapat mulai dengan berbicara dengan dokter anak mereka,” saran Dr. Craig Garfield, peneliti pediatrik di Northwestern University dan Lurie Children's Hospital of Chicago.

Transisi menjadi orangtua memang tidak selalu mulus, itu sebabnya jangan segan mencari bantuan.

“Anak-anak tumbuh dengan baik ketika orangtua berkembang,” kata Garfield.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang

Baca tentang


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau