Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 27 Agustus 2018, 19:19 WIB
Ariska Puspita Anggraini,
Wisnubrata

Tim Redaksi

KOMPAS.com - 'Putus nyambung' dalam sebuah hubungan asmara adalah hal yang biasa.

Namun, terlalu sering 'putus nyambung' rupanya bisa berdampak buruk pada kualitas hubungan dan kesehatan mental mereka yang terlibat di dalamnya.

Dilansir dari Independent, sebuah riset terbaru menemukan, terlalu sering 'putus nyambung' memiliki efek buruk pada kesehatan mental seseorang.

Riset dilakukan oleh peneliti dari University of Missouri, Columbia. Untuk hasil yang optimal, periset merekrut 500 orang yang telah memiliki kekasih, di mana 60 persen dari mereka memiliki hubungan asmara 'putus nyambung'.

Dibandingkan dengan pasangan yang memiliki hubungan asmara stabil, mereka yang berada dalam kisah cinta dengan banyak drama 'putus nyambung' memiliki risiko kekerasan yang lebih tinggi, komitmen yang rendah, dan komunikasi yang lebih buruk.

Hubungan semacam ini ternyata berkaitan dengan tekanan psikologis yang lebih besar, seperti depresi dan kecemasan.

"Hubungan asmara yang tak stabil biasanya terjadi ketika salah satu pihak kurang berkomitmen," papar pelatih kencan bernama James Preece.

Menurutnya, pihak yang lebih serius dalam hubungan mentolerir ketidakstabilan pasangannya karena tidak ingin mengambil risiko kehilangan orang yang dicintainya.

"Perpisahan bisa disebabkan oleh perdebatan terus-menerus atau perselingkuhan, tetapi kedua belah pihak masih tertarik satu sama lain," tambahnya.

Baca juga: Sering Konflik dengan Pasangan Memicu Penyakit Fisik

Ini membuat seseorang bertanya-tanya mengapa mereka tidak cukup baik untuk mempertahankan rasa cinta pasangannya.

“Ini dapat menyebabkan peningkatan kecemburuan, yang dapat membuat orang merasa cemas. Semakin lama itu berlangsung maka semakin buruk yang mereka rasakan, bahkan menyebabkan depresi,” paparnya.

Jika seseorang membuat kita merasakan hal seperti ini, Preece menyarankan segera terlepas dari hubungan putus nyambung.

Psikolog Madeleine Mason Roantree menjelaskan hubungan yang diwarnai 'putus nyambung' sering terjadi ketika kedua pasangan pada dasarnya tidak bisa bersama lagi.

Tapi, mereka masih memiliki hasrat seksual kuat sama lain yang membuat mereka kembali menjalin kasih. Pada akhirnya, inilah yang membuat dinamika 'putus nyambung' memiliki efek negatif.

Menurut Preece, hubungan semacam ini biasanya diwarnai oleh emosional dan kekerasan fisik.

“Ini terjadi seolah-olah mereka tidak dapat hidup tanpa satu sama lain, namun ketika mereka bersama mereka saling menyakiti satu sama lain," ucapnya.

Menurut Kale Monk, selaku pemimpin riset, ketika mempertimbangkan kemungkinan untuk menyatukan kembali hubungan yang telah berakhir, penting untuk mengingatkan diri perihal alasan mengapa kita putus.

Sebelum memutuskan untuk kembali bersama, Monk menyarankan agar kita mendiskusikan masalah secara jelas dengan pasangan mengenai apa yang salah pada awalnya.

Kita juga perlu mempertimbangkan dengan serius kemungkinan masalah ini terjadi kembali jika kita memutuskan untuk kembali bersama.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau