Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

3 Cara Menghadapi Mantan Pasangan yang Toksik Saat Co-Parenting

Kompas.com, 11 Agustus 2025, 09:03 WIB
Nabilla Ramadhian,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

Konsultasi Tanya Pakar Parenting

Uraikan lika-liku Anda mengasuh anak jadi lebih simpel

Kenali soal gaya asuh lebih apik lewat konsultasi Kompas.com

KOMPAS.com - Co-parenting adalah pengasuhan anak yang dilakukan bersama-sama oleh orangtua yang sudah bercerai.

Pengasuhan bersama tersebut dilakukan untuk memastikan agar anak tetap tumbuh dengan cinta dan perhatian dari ayah dan ibunya, meskipun kedua orangtuanya sudah tidak tinggal seatap.

Namun, tidak semua mantan pasangan bisa diajak berkomunikasi yang sehat. Terkadang, ada mantan suami atau istri yang toksik karena terlalu senang mengontrol, sulit diajak berkompromi dalam membesarkan anak, dan lain sebagainya.

Baca juga: Apa Itu Co-Parenting Seperti yang Dijalani Acha Septriasa 

Lantas, bagaimana cara menyikapi mantan pasangan yang toksik saat co-parenting? Berikut penjelasan dari psikolog klinis anak dan remaja Lydia Agnes Gultom, M.Psi. saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (9/8/2025).

Cara menghadapi mantan pasangan yang toksik

1. Lakukan tindakan preventif

Langkah pertama adalah melakukan tindakan preventif, seperti menetapkan aturan dan batasan yang jelas saat pengasuhan bersama.

“Hal ini biasanya dapat dilakukan ketika dalam proses perceraian hingga putusan pengadilan,” kata Agnes yang berpraktik di Klinik Utama Dr. Indrajana Jakarta Pusat.

Misalnya adalah soal jadwal kunjungan. Jika perlu, buatlah catatan tertulis tentang aturan dan batasan yang disepakati bersama, seperti hari dan jam, serta kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

2. Hanya fokus pada anak

Apabila tidak sempat melakukan tindakan preventif, Agnes menyarankan untuk memfokuskan diri pada anak. Sebab, co-parenting adalah untuk kepentingan anak, bukan diri sendiri maupun mantan pasangan.

“Tetap berusaha menciptakan situasi yang kondusif, dan tidak berkonflik di depan anak,” tutur Agnes yang juga bekerja sebagai Penyuluh Sosial Ahli Muda di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).

Sebab, anak belum sepenuhnya paham tentang apa yang terjadi pada ayah dan ibunya. Ia hanya ingin menghabiskan waktu dan masa kecilnya ditemani oleh kedua orangtuanya.

Baca juga: Red Flag Vs Green Flag, Ketahui Tanda Hubungan Kamu Sehat atau Toxic

Ketika orangtua berkonflik di depan anak, ditambah sambil menjelekkan, anak bisa kebingungan dan pada akhirnya hanya dekat dengan ayah atau ibunya, atau justru menarik diri dari keduanya.

“Tidak perlu menjelek-jelekkan mantan pasangan di depan anak karena hal itu juga tidak memberikan dampak yang baik bagi kondisi psikologis anak,” terang Agnes.

3. Batasi interaksi langsung

Kemudian, orangtua juga bisa saling membatasi atau mengurangi interaksi langsung, kecuali untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan anak.

Posisikan diri dan jaga kesehatan mental

Orangtua juga harus bisa memposisikan diri ketika mereka sedang menjadi ayah dan ibu, dan ketika mereka sedang menjadi mantan suami dan mantan istri.

Maksudnya, ketika sedang bersama dengan anak, ubah pola pikir menjadi “Saya adalah ayah atau ibu yang sedang menemani anak”, bukan “Saya sedang menemani anak bersama mantan suami atau istri”.

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau