Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Diet Rendah Garam, Sama Buruknya dengan Makan Terlalu Banyak Garam?

KOMPAS.com.com - Rasa makanan yang gurih dan asin seakan punya tempat tersendiri di hati masyarakat Indonesia. Banyak orang cenderung lebih menyukai rasa asin ketimbang manis.

Itulah mengapa sampai muncul istilah "generasi micin" yang mengacu pada kesukaan sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap makanan atau cemilan yang rasanya asin dan gurih.

Sodium, elemen kunci yang ditemukan pada garam sangatlah penting untuk menjaga keseimbangan cairan di tubuh, transportasi oksigen dan gizi, serta berperan dalam memainkan impuls saraf.

Namun, kebanyakan orang mengkonsumsinya terlalu banyak dari jumlah yang dianjurkan. Dan itu bisa memunculkan masalah kesehatan.

Kementerian Kesehatan RI menyarankan konsumsi garam per hari tidak melebihi 2.000 mg natrium/sodium atau 5 gram (1 sendok teh).

Mungkin kita tak menyadarinya karena garam seringkali sudah terkandung dalam makanan yang kita beli atau santap.

Tubuh akan menahan air ketika kita mengkonsumsi garam. Hal itu akan memicu peningkatan tekanan darah hingga kita membuang garam tersebut lewat air seni.

Konsumsi terlalu banyak garam pada periode yang panjang berpotensi meningkatkan aliran darah pada pembuluh arteri dan menyebabkan darah tinggi (hipertensi).

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Hipertensi diketahui merupakan penyebab 62 persen stroke dan 49 persen penyakit jantung koroner.

Salah satu meta analisis dari 13 studi yang dipublikasikan dalam kurun waktu 35 tahun menemukan, mereka yang mengkonsumsi garam lebih dari 5 gram per hari memiliki risiko mengalami penyakit kardiovaskular lebih besar 17 persen dan stroke 23 persen.

Pada sebuah data analisa tekanan darah, mengurangi asupan garam mulai dari 1,4 gram per hari akan berkontribusi menurunkan tekanan darah. Sehingga risiko terserang stroke fatal berkurang 42 persen dan kematian karena penyakit jantung juga berkurang 40 persen.

Meski begitu, sulit untuk mengetahui efek mengurangi asupan garam dan manfaat dari pola hidup sehat yang dilakukan oleh seseorang.

Sebab mereka yang peduli dengan asupan garam cenderung juga menganut pola hidup sehat secara keseluruhan. Seperti banyak berolahraga, menghindari rokok dan mengurangi stres.

Meski begitu, efek konsumsi garam terhadap tekanan darah dan kesehatan jantung berbeda pada setiap orang.

Studi menemukan, sensitivitas terhadap garan tergantung pada sejumlah variasi seperti etnis, usia, berat massa tubuh, kesehatan, dan sejarah hipertensi keluarga.

Faktanya, beberapa ilmuwan kini tengah memperdebatkan bahwa diet rendah lemak punya risiko tekanan darah tinggi yang sama dengan mereka yang mengkonsumsi garam dengan jumlah besar.

Sebuah meta analisis, misalnya, menemukan kaitan antara rendahnya asupan garam dengan penyakit kardiovaskular dan kematian.

Para peneliti curiga, konsumsi kurang dari 5,6 gram atau lebih dari 12,5 gram garam per hari terkait dengan kondisi kesehatan yang buruk.

Studi lainnya yang melibatkan 170 ribu orang memiliki temuan yang sama, yaitu kaitan antara rendahnya asupan garam (kurang dari 7,5 gram ) dan meningkatnya risiko penyakit kardiovaskular pada orang dengan maupun tidak dengan hipertensi.

Risiko tersebut sama dengan mereka yang mengkonsumsi lebih dari 12,5 gram garam per hari.

Pemimpin studi, Andrew Mente yang juga epidemolog gizi di McMaster University di Ontario menyimpulkan, mengurangi asupan garam dari tinggi ke moderat mampu mengurangi risiko tekanan darah tinggi.

Sementara meningkatkan asupan garam dari rendah ke moderat mungkin bisa menolong.

"Angka yang optimal adalah di tengah, jangan kelebihan maupun kekurangan," kata dia.

Namun, tak semua pihak setuju.

Francesco Cappuccio, profesor ilmu kardiovaskular dan epidemologi di Medical School, University of Warwick menilai pengurangan konsumsi garam mampu mengurangi tekanan darah tinggi, tidak hanya bagi mereka yang biasa makan terlalu banyak garam.

Menurutnya, studi terkait hal tersebut tergolong kecil, termasuk partisipan yang sudah kurang sehat dan data yang tidak sempurna.

Termasuk studi yang dilakukan Mente, yang menggunakan tes urin pada partisipan alih-alih menggunakan "standar emas" dengan menyebar beberapa tes dalam periode 24 jam.

Ia menilai tidak banyak orang yang mengkonsumsi garam hingga ke level 3g atau level yang dianggap terlalu rendah oleh riset ini dan berbahaya.

Menurutnya, hal itu tergantung pada level garam pada makanan yang dibeli.

Banyak makanan dengan garam merupakan makanan yang dikonsumsi sehari-hari.

Itulah mengapa, reformulasi lintas makanan menjadi pendekatan paling sukses untuk memotong level garam nasional di Inggris.

Para pakar juga memiliki pandangan berlawanan, apakah asupan garam tinggi bisa ditangkal dengan pola makan sehat dan olahraga.

Beberapa pakar, termasuk Stanner, mengatakan bahwa diet kaya potasium (buah, sayur, kacang dan susu) bisa membantu menangkal efek garam pada tekanan darah.

Ceu Mateus, dosen senior di ekonomi kesehatan di Lancaster University menyarankan agar kita selalu memprioritaskan atau berhati-hati pada garam yang tersembunyi dalam makanan karena kandungannya sering tidak kita sadari.

"Efek yang didapatkan dari makan terlalu banyak garam bisa sama dengan mereka yang makan terlalu sedikit garam. Tapi kami masih membutuhkan riset lanjutan untuk mendalaminya," kata Mateus.

"Kita harus memahami bahwa terlalu banyak garam buruk bagi kesehatan, tapi janganlah mengeliminasi sepenuhnya."

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/11/01/131300020/diet-rendah-garam-sama-buruknya-dengan-makan-terlalu-banyak-garam-

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com