Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Marah Kalau Ada Batik Mahal

Kompas.com - 02/10/2010, 13:28 WIB

KOMPAS.com - Ketenaran batik seakan tak pernah pudar. Warisan budaya bangsa ini terus menunjukkan peningkatan, mulai dari makin berkembangnya usaha-usaha batik, makin banyak pula desainer mancanegara yang melirik batik, seperti Dries Van Noten pada koleksi Spring 2010-nya. Namun, saking makin umumnya batik, kita bisa tergoda untuk berpikir bahwa batik itu pasti sudah menjadi semacam industri besar. Saat industri sudah besar, makin mudah didapat, maka untuk urusan harga, harusnya makin murah. Tetapi kenyataannya tidak begitu. Sehelai kain batik yang cantik bisa mencapai jutaan rupiah di pasaran.

Kain batik ada berbagai tipe, ada yang dicap, ditulis, atau pun kombinasi keduanya, serta printing. Teknik pembuatan tersulit adalah batik tulis yang membutuhkan keahlian khusus.

Pada acara peluncuran KAO Attack Batik Cleaner di Museum Nasional, Jumat (1/10/2010), Edward Hutabarat yang sudah berkecimpung dengan batik sejak 9 tahun lalu, mengatakan bahwa batik bisa berharga mahal karena banyak hal. Misal, dalam selembar kain sepanjang 5 meter yang perlu pembuatan 5 bulan, dibutuhkan banyak upaya, usaha, dan kesabaran yang ekstra.

"Mulai dari pengurusan mori, ada yang menggulung, ada yang mengukur, ada yang memotong. Kedua, ada yang menggambar pakai pensil. Lalu ada pula bagian menulis pakai canting, ini bagian maestro. Lalu ada yang bagian mewarna. Untuk yang melilin, melorod, dan membilas, lain lagi, lalu yang menyeterika pun lain lagi. Jadi kalau ada sepotong kain harganya Rp 5 juta yang dikerjakannya 5 bulan, berarti Rp 1 juta per bulan, dibagi tujuh orang. Terbayang, kan? Itu pun kalau harganya segitu. Kalau harganya Rp 1 juta, dibagi 7, kan lebih sedikit lagi," ujar pemilik butik Part One ini.

"Belum lagi, perlu Anda ketahui, bahwa untuk membatik, seseorang butuh waktu setidaknya 20 tahun untuk bisa dikatakan sebagai maestro. Untuk pembatik yang baru mencoba belajar hingga 5 tahun, ia baru dinamakan pemula. Untuk yang sudah belajar 6-10 tahun, baru dikatakan bisa membatik. Sementara mereka yang sudah 10-20 tahun membatik, sudah masuk dalam rank tertentu. Sementara mereka yang sudah membatik 20 tahun ke atas, barulah dinamakan maestro. Tidak mudah perjalanan untuk bisa menggambar di atas kain batik," jelas pria yang akrab dipanggil Edo ini.

Tetapi ini untuk batik tulis. Untuk batik cap dan print, tentu seharusnya tidak semahal batik tulis karena menggunakan alat dan pembuatannya bisa lebih cepat dan massal. Membedakannya bisa terlihat, bahwa batik tulis kadang warna guratannya tembus hingga ke belakang kain. Selain itu, garis-garisnya jarang ada yang persis sama. Batik tulis, karena pengerjaannya dengan tangan, garis atau bentuk motif yang serupa jarang ada yang persis sama.

Bukan hanya soal itu saja, yang perlu dihargai dan dilihat adalah craftmanship para pembatik, baik keahlian mengulik dan menulis gambar, tetapi juga ketelitian menggabungkan motif menjadi sebuah kesatuan yang indah.

"Anda tahu, di dalam motif, bisa terbuat dari berbagai macam bentuk. Dalam sebuah batik Pekalongan, misalnya, yang ada berbagai macam bentuk daun, di masing-masing daunnya memiliki motif yang berbeda-beda. Itu tidak mudah untuk mengubah desain kecil-kecil. Butuh ketelitian dan kesabaran. Contohnya batik Hokokai. Yang datang pada tahun 1940-1945an. Batik ini muncul pada zaman penjajahan Jepang. Pada saat itu, masyarakat Indonesia hidup kesusahan. Bahkan untuk pakaian pun kadang tak punya. Hingga, mereka membuat kain batik dalam dua motif, Pagi-Sore, namanya. Itu salah satu alasan datangnya batik Hokokai. Hokokai itu flora dan fauna. Colorful. Tetapi itu baru salah satunya. Masih banyak lainnya lagi," jelas pria yang dibiayai oleh PT KAO untuk melakukan perjalanan mengenal batik ke kota-kota penghasil batik di Jawa.

Di balik batik ada kehidupan anak, kehidupan perempuan, arsitektur, keindahan taman, kuliner, budaya, keindahan alam, dan masih banyak lainnya yang bersinggungan dengan si pembatik. Hal-hal semacam ini yang kemudian menginspirasi para pembatik untuk membuat motif. Namun, seringkali hal ini terlewat begitu saja oleh kita dan belum sepenuhnya mengerti mengenai esensi dan keindahan batik yang sebenarnya merupakan sebuah proses tersendiri. "Kenapa? Karena mereka yang memegang, yang berwenang, seleranya harus dibangun. Harusnya mengajak lebih banyak kaum muda untuk bekerja sama mengangkat batik dan memelihara batik," jelas Edo.

Ketika ditanyakan mengapa ia memilih batik dan tak banyak desainer yang tidak melakukannya, Edo mengatakan, "Banyak desainer Indonesia tidak percaya diri dengan kain tradisional Indonesia. Mengapa? Karena terpatok dengan desain yang berlebihan, yang miring, yang besar, yang ke sana-sini, bahkan mirip busana sirkus. Padahal, kain Indonesia harus dibuat sesimpel mungkin," jelas pria yang mengatakan bahwa dirinya tak ingin terbawa arus tren dan cenderung mendesain dengan konsep fresh, light, and simplicity in quality.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com