Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Cuma Menyalahkan "Debt Collector"

Kompas.com - 05/04/2011, 11:44 WIB

KOMPAS.com - Kasus tewasnya Sekretaris Jenderal Partai Pemersatu Bangsa Irzen Octa saat ini menjadi pembicaraan banyak orang. Seperti diberitakan, Irzen tewas tidak lama setelah bernegosiasi dengan tiga debt collector, penagih utang yang dipekerjakan Citibank, tepatnya di Menara Jamsostek, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (29/3/2011) lalu.

Kasus ini membuat posisi debt collector makin tersudut. Sebelum terjadinya insiden ini, kita tentu sudah sering membaca berita mengenai nasabah kartu kredit yang mengeluhkan perlakuan debt collector bila nasabah tak mampu menyelesaikan utangnya. Penagih utang tak hanya meneror, mengancam, atau memaki nasabah, tetapi juga melakukan hal yang sama pada orang-orang dekat nasabah.

Pada saat mendengar kasus semacam ini, orang jarang sekali melihat dari sisi latar belakang masalah. Misalnya, mengapa nasabah sampai tidak membayarkan utangnya? Mengapa bank penerbit kartu kredit sampai harus menugaskan penagih utang dari pihak ketiga untuk memaksa nasabah membayar utangnya? Berapa besar jumlah utang yang dimiliki nasabah, dan berapa lama utang tersebut dibiarkan menumpuk?

Sebelum menyalahkan bank dan debt collector-nya, cobalah berkaca pada diri sendiri. Bagaimana sih, cara Anda menggunakan kartu kredit? Apakah Anda selalu membayar tagihan hingga lunas sebelum jatuh tempo, atau hanya membayarkan minimum payment-nya? Dengan gaji yang Anda miliki, mampukah Anda "membeli" gaya hidup yang membuat Anda terjerat utang kartu kredit?

Seringkali yang terjadi, orang memang hanya memuaskan keinginan untuk memenuhi gaya hidupnya. Karena gaji tak mencukupi, akhirnya ia membeli barang-barang atau menggunakan fasilitas mewah dengan memanfaatkan kartu kredit. Dalam perjalanannya, ternyata ia tak mampu membayar utang-utangnya yang menumpuk.

"Ada juga orang yang selama 5 tahun, bahkan 9 tahun, kartu kreditnya dibiarin terus, hanya membayar minimum payment. Padahal belanjanya berapa, bunganya berapa. Jadi utangnya nanti berapa?" tukas Ligwina Hananto, financial planner, saat hadir sebagai narasumber dalam talkshow "Apa Kabar Indonesia Pagi" yang ditayangkan TVOne, Senin (4/4/2011) lalu.

Utang yang awalnya hanya sebesar Rp 5 juta, misalnya, bisa saja membengkak menjadi belasan, bahkan puluhan juta, karena nasabah tak pernah membayar lunas. Nilai bunga menjadi jauh melebihi nilai pembelanjaan itu sendiri. Saat inilah, nasabah biasanya mulai mengeluh kesulitan membayar utang. Kebiasaan orang yang tak bertanggung jawab seperti ini adalah berlagak cuek ketika ditagih, menghindar (dengan mengganti nomor telepon atau pindah rumah) dan membiarkan orang-orang dekatnya (keluarga atau rekan kantornya) repot menerima telepon dari bank.

Ada pula nasabah yang kesulitan membayarkan seluruh utangnya lalu meminta keringanan dari pihak bank. Keringanan yang diminta seringkali tidak tanggung-tanggung, di bawah separuh dari jumlah total utang. Sudah begitu, saat menuntut keringanan itu mereka bersikap seolah-olah bank lah yang berkewajiban memberi keringanan, bukan bahwa ia lah yang berkewajiban membayar utang. Tak jarang terlontar kalimat yang arogan seperti, "Kalau saya nggak bisa bayar, mau apa?"

Perlu Anda ketahui juga bahwa menagih utang dengan cara ancaman biasanya baru dilakukan bila cara yang "halus" sudah tidak mempan. Ingat kan, kalau Anda belum membayar tagihan karena lupa, atau belum sempat membayar, bank pasti akan menelepon untuk mengingatkan, bahwa Anda belum membayar. Ada pula reminder yang dikirimkan melalui SMS. Bila peringatan-peringatan semacam itu tidak diindahkan oleh nasabah, bank baru menggunakan cara yang lebih tegas.

Oleh karena itu, untuk menghindari jeratan utang di kemudian hari sebaiknya kita tidak memaksakan diri mengejar kemewahan atau kesenangan yang tidak mampu kita dapatkan. Sadari dimana kemampuan Anda, dari segi penghasilan maupun komitmen untuk melunasinya (bila Anda memilih untuk mendapatkannya dengan kartu kredit).

"Prinsip dasar keuangan adalah jujur pada diri sendiri. Udah pantas belum, misalnya, punya barang yang cicilannya Rp 2 jt per bulan, sementara gajinya Rp 4 juta. Ada tidak uang yang kita miliki untuk membayar kartu kredit?" kata Ligwina memberi gambaran.

Kita juga perlu lebih berani menolak pinjaman tunai atau fasilitas lain yang ditawarkan secara agresif oleh pihak bank. Tak perlu merasa kesal karena mengambil program karena merasa dipaksa pihak bank. Bila memang tak mau menerima tawaran tersebut, tolak saja dengan tegas.

"Jangan komplain karena tawaran kartu kredit, tapi kita tanda tangan juga (untuk menyepakati tawaran tersebut). Nanti marah-marah karena ditagih," tutur penulis buku Untuk Indonesia yang Kuat: 100 Langkah untuk Tidak Miskin ini, gemas.

Ligwina mengingatkan, kasus kekerasan seperti yang menimpa Irzen Octa tidak dapat dikaitkan dengan kewajiban nasabah untuk membayar utangnya. Sikap kasar yang ditunjukkan debt collector tidak dapat dibenarkan, tetapi Anda pun perlu membantu diri sendiri dengan membayar lunas utang Anda.

"Saya harus tegas di sini karena orang suka menghindari membayar utangnya sendiri. Kalau nggak mau bayar, itu tanggung jawabnya sendiri!" tukasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com