Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Helen, Wanita Australia yang Gemar Masak Makanan Indonesia

Kompas.com, 17 Juni 2019, 18:26 WIB
Glori K. Wadrianto

Editor

Sumber ABC News

KOMPAS.com - Helen yang lahir dan besar di Melbourne, Australia, tidak menyangka bahwa menyusul kunjungannya ke Eropa di tahun 1960, ia akan menjadi mahir dalam memasak makanan Indonesia.

Perjumpaannya dengan Bambang Soemardjo, seorang pria Indonesia sewaktu di Inggris, menjadi awal perjumpaannya dengan kuliner Indonesia.

Wanita yang kini berusia 82 tahun tersebut akhirnya menikah dengan pria Jawa Tengah yang berumur 13 tahun lebih tua darinya.

Mereka lalu tinggal di Kebayoran, Jakarta bersama kelima ipar perempuannya yang aktif di dapur.

"Ketika sampai di Jakarta, saya mengetahui bahwa suami saya tinggal dengan saudara perempuannya, dan punya tukang masak sendiri yang hanya bisa Bahasa Jawa," ungkap Helen.

"Tapi kami akhirnya bisa berkomunikasi. Dia memberitahu saya bahan-bahan memasak dan kira-kira seberapa banyak yang digunakan dalam satu piring."

Baca juga: Ahli Gizi Sebut 4 Bumbu Masakan Ini Mampu Perpanjang Usia

Kini pun, Helen masih menyimpan resep masakan Indonesia seperti rendang, empal, rawon hingga abon pemberian kakak iparnya puluhan tahun yang lalu.

Dengan kompor minyak tanah yang tidak pernah ia gunakan selama di Australia, Helen pada akhirnya memberanikan diri membuat sayur sop untuk keluarganya, walaupun warna kuahnya menjadi kuning akibat sepotong kunyit.

Pengalaman tersebut yang lalu membangun minat dan ketertarikan Helen pada makanan Indonesia. Meskipun dia harus berjuang keras di dapur selama bertahun-tahun.

Memasak makanan Indonesia lebih rumit

Helen masih menyimpan resep masakan Indonesia seperti rendang, empal, rawon hingga abon pemberian kakak iparnya puluhan tahun yang lalu.

ABC Indonesia Helen masih menyimpan resep masakan Indonesia seperti rendang, empal, rawon hingga abon pemberian kakak iparnya puluhan tahun yang lalu.

Helen melihat, kultur menyajikan masakan Indonesia sangatlah berbeda dengan makanan Australia yang sederhana.

"Penyajian makanan Australia sangatlah sederhana kalau dibandingkan."

"Makanan Indonesia terbuat dari banyak elemen berbeda, bumbu dan rempah yang bisa ada sepuluh dalam satu piring."

Lebih jauh, Helen mengaku mengibaratkan memasak sebagai seni, yang dalam bentuk apa pun membutuhkan banyak praktek.

"Memasak makanan Indonesia harus sering praktek. Sama halnya melakukan kesenian. Karena mendapatkan rasa makanan yang pas kadang bisa sulit. Tidak selalu bisa."

Selain itu, Helen menemukan nilai kekeluargaan dari pengalamannya menyajikan makanan Indonesia saat masih tinggal di Kebayoran puluhan tahun silam.

Baca juga: Icha Irawan, Berbagi Resep karena Rindu Masakan Indonesia

"Memasak makanan di Indonesia adalah sesuatu yang dibagi bersama orang lain," ungkap ibu dari tiga orang anak ini.

"Walau dapur kami kecil, biasanya ibu-ibu akan menyuruh anak-anak untuk membantu paling tidak potong-potong sayur."

Menurutnya, menyajikan makanan Indonesia menciptakan waktu berkumpul keluarga khususnya ketika duduk makan bersama.

Hingga kini, Helen giat memasak makanan Indonesia selama 3-4 kali seminggu. Minat ini ternyata menular kepada kedua cucunya.

"Cucu saya sering datang ke rumah untuk kami masak-masak bersama. Mereka sering jalan jalan ke luar negeri seperti Malaysia, Vietnam, Thailand dan lain-lain sehingga tahu banyak tentang masakan Asia."

Baca juga: Cara Chef Mengatasi Rasa Hambar Masakan di Pesawat

Ia pun sering memasak untuk rombongan seniman Indonesia yang bekerjasama dengan anaknya, Ria Soemardjo, seorang sinden di Melbourne yang suka mengunjungi Indonesia untuk tampil.

"Sejak pindah rumah ke Thornbury, Ria sering memperkenalkan saya pada orang-orang Australia yang sering ke Indonesia," kata Helen.

"Saya suka memasak untuk mereka karena mereka tahu persis bagaimana rasa makanan Indonesia. Aktivitas ini cukup menantang untuk saya."

Sampai di usia 82 tahun kini, dalam berbagai kesempatan Helen masih membagikan pengetahuannya mengenai masakan Indonesia kepada warga Australia maupun warga Indonesia di Melbourne.

Baru-baru ini Helen berbagi resep membuat nastar dan wajik di rumahnya kepada anggota Museum of Indonesian Arts (MIA) di kawasan Thornbury Melbourne.

Suami tidak mau lagi ke Indonesia

Hubungan Helen dengan Indonesia tidak pernah putus, bahkan setelah ia meninggalkan negara tersebut untuk kembali ke tanah kelahiran di tahun 1968.

"Dulu saya masih sering bolak balik 2-3 kali untuk mengurus kerjaan." kata Helen yang pernah lama bekerja sebagai staf di perpustakaan Universitas Monash.

Di tengah keaktifannya mengunjungi Indonesia, ia menyayangkan sang suami yang menolak untuk mengunjungi negaranya sendiri sewaktu masih hidup.

Baca juga: Makanan yang Diproses Terbukti Memicu Makan Berlebih

"Kondisi politik waktu tahun 1968 menyebabkan dia tidak mau pulang," kata Helen kepada ABC News.

"Karena kontribusinya bagi negara yaitu penyediaan dokter dan klinik untuk buruh yang sudah ia kerjakan dengan susah payah tidak dihargai sama sekali."

Setelah bertemu dengan suaminya Bambang Soemardjo di Inggris di tahun 1960-an, mereka menikah di Indonesia sebelum pindah ke Australia di tahun 1968.

Sejak kepindahan ke Melbourne, Banbang sama sekali tidak pernah lagi pulang ke Indonesia sampai meninggal di tahun 2013.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau