Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengupas Tindakan Bunuh Diri, Risiko Terbesar Penderita Depresi

Kompas.com - 06/12/2021, 16:49 WIB
Sekar Langit Nariswari,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kasus Novia Widyasari yang bunuh diri setelah depresi akibat diperkosa dan dipaksa aborsi menghebohkan media sosial belakangan ini.

Tragedi itu langsung menyedot perhatian publik, khususnya terkait isu kesehatan mental.

Kesadaran soal risiko bunuh diri pada penderita depresi di Indonesia memang masih rendah dan belum banyak dibahas.

Via akun Twitter-nya, dokter spesialis kedokteran jiwa, dr. Andri mengatakan bunuh diri adalah risiko terbesar dari depresi karena mengancam nyawa penderitanya.

Baca juga: Kasus Bunuh Diri Mahasiswi NWR, Bripda Randy Diberhentikan Tak Hormat

"Tidak semua orang yang mengalami depresi bisa punya pikiran bunuh diri atau punya perilaku untuk melakukannya," tulis dia, seperti dikutip dari akun @mbahndi.

Menurut dia, bunuh diri bisa terjadi pada kasus depresi berat yang pada umumnya tidak terjadi secara tiba-tiba.

Depresi biasanya diawali dengan sejumlah gejala utama seperti mood yang sedih, rasa putus asa atau kehilangan harapan, serta ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas seperti biasanya.

Gejala ini biasanya dialami selama setidaknya dua minggu berturut-turut.

Penderita depresi juga akan merasakan kesulitan berkonsentrasi, gangguan tidur dan gangguan makan.

Selain itu, muncul gejala fisik lainnya yang tidak jelas sumbernya serta perasaan mudah tersinggung.

Baca juga: Kenali Risiko Bunuh Diri pada Remaja yang Di-bully

"Pada beberapa kondisi berat, pikiran bunuh diri mulai datang bahkan melakukan upaya bunuh diri tersebut," kata pakar yang aktif membagikan edukasi di media sosial ini.

Berdasarkan pengalamannya dan penelitian selama ini, dokter Andri mengatakan depresi tidak timbul secara tiba-tiba.

Gejalanya diawali dari rasa tertekan yang berlangsung lama, perasaan burn out karena pekerjaan atau kesulitan beradaptasi dengan lingkungan.

Jika daya adaptasinya kurang dan tekanan terus dirasakan, gejala depresi itu bisa mulai muncul.

Dokter Andri menyarankan untuk segera meminta bantuan ke psikolog atau psikiater apabila sudah mengalami gejala yang menganggu kualitas hidup.

"Jika kondisi berat, jangan ragu jika dokter memberikan obat antidepresan, ini membantu," tegas dia.

Ia menguraikan, pengobatan depresi dengan antidepresan memang menjadi jalan satu-satunya.

Baca juga: Berita Bunuh Diri Bisa Memancing Niat Bunuh Diri Orang Depresi

Namun, obat bisa membantu menstabilkan neurotransmitter atau zat kimia di otak yang tidak seimbang karena depresi.

Selain itu, perlu penanganan lain seperti psikoterapi dan perubahan gaya hidup untuk mencegah kekambuhan dan memperbaiki kualitas hidup.

Ia meyakinkan, depresi bisa disembuhkan meskipun dalam beberapa kasus membutuhkan obat antidepresan jangka panjang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com