Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

6 Tantangan Melestarikan Tenun Batak ke Generasi Muda Menurut TobaTenun

Kompas.com, 1 Agustus 2025, 17:05 WIB
Devi Pattricia,
Ni Nyoman Wira Widyanti

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Kain tenun tradisional seperti tenun batak menghadapi tantangan besar untuk tetap relevan, di tengah arus tren global dan gempuran merek fesyen internasional. 

TobaTenun, salah satu brand tekstil yang fokus pada pelestarian tenun batak, mengakui bahwa mengenalkan budaya lokal ke generasi muda bukan perkara mudah.

Baca juga:

Ada sejumlah tantangan yang dihadapi TobaTenun dalam menghidupkan kembali semangat cinta tenun batak di kalangan muda. Simak penjelasannya.

Perjuangan melestarikan tenun batak untuk generasi muda

1. Harga yang dinilai terlalu tinggi

CEO TobaTenun Kerri Na Basaria Panjaitan dalam  UGARI: LUHUR, Perayaan 7 Tahun TobaTenun di Kuningan, Jakarta Selatan Rabu (30/7/2025). KOMPAS.com/DEVI PATTRICIA CEO TobaTenun Kerri Na Basaria Panjaitan dalam UGARI: LUHUR, Perayaan 7 Tahun TobaTenun di Kuningan, Jakarta Selatan Rabu (30/7/2025).

Produk tenun tradisional seperti ulos batak memang tidak murah. Proses pembuatannya yang rumit, dikerjakan manual selama berhari-hari, serta penggunaan bahan alami membuat harga kain tenun menjadi mahal. 

Namun, hal ini justru menjadi hambatan ketika dibandingkan dengan produk fesyen cepat atau fast fashion.

“Faktor harga udah pasti jadi tantangan utama, apalagi kalau di Jakarta ini semakin banyak brand luar yang masuk dan dianggap lebih tren,” ujar CEO TobaTenun, Kerri Na Basaria Panjaitan dalam acara UGARI: LUHUR, perayaan 7 tahun TobaTenun yang digelar di Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (30/7/2025).

Kesan "mahal tapi jarang dipakai" menjadi persepsi umum di kalangan anak muda, membuat tenun tradisional tampak kurang fungsional dalam keseharian mereka.

“Alhasil banyak orang merasa ngapain beli hasil penenun yang harganya lebih mahal dan enggak bisa dipakai sering-sering, mending beli tas atau sepatu mahal,” jelas Kerri.

2. Kalah saing dengan produk fesyen modern

Koleksi busana kolaborasi TobaTenun dengan desainer Eridani.KOMPAS.com/DEVI PATTRICIA Koleksi busana kolaborasi TobaTenun dengan desainer Eridani.

Tenun tradisional sering dianggap terlalu formal atau kuno dibandingkan produk fesyen modern yang lebih simpel dan fleksibel. 

Apalagi banyak brand lokal dan internasional saat ini menghadirkan koleksi yang sangat terjangkau dan cepat berganti.

“Mengenalkan tenun batak ke lintas generasi memang sulit sih, di tengah berbagai macam brand mulai mengeluarkan koleksi yang lebih modern dan trendi,” kata dia.

Hal ini membuat tenun tradisional cenderung dipandang sebagai busana acara adat atau perayaan tertentu saja, bukan sebagai bagian dari gaya hidup harian.

3. Kurangnya akses dan koneksi emosional

Generasi muda kerap memiliki rasa ingin tahu tinggi, tetapi tanpa pendekatan yang tepat, warisan budaya seperti tenun bisa terasa jauh dari mereka. 

Edukasi tentang sejarah, nilai simbolis, serta proses pembuatan tenun menjadi penting untuk membangun koneksi emosional.

“Tapi antusias anak muda itu pasti ada, bagaimana kami bisa meraih mereka dan membuat tenun Batak ini lebih mudah diakses muda-mudi,” ujar Kerri.

Kerri menilai, keterlibatan anak muda bisa dimulai dari penyederhanaan akses, baik secara visual, gaya, maupun harga.

Baca juga:

4. Minimnya role model anak muda

Gambaran busana dengan kain tenun Batak dalam acara UGARI: LUHUR, Perayaan 7 Tahun TobaTenun di Kuningan, Jakarta Selatan Rabu (30/7/2025). KOMPAS.com/DEVI PATTRICIA Gambaran busana dengan kain tenun Batak dalam acara UGARI: LUHUR, Perayaan 7 Tahun TobaTenun di Kuningan, Jakarta Selatan Rabu (30/7/2025).

Bagi TobaTenun, kehadiran figur muda yang mengenakan dan mempopulerkan tenun batak sangat penting. 

Sosok ini dapat menjadi panutan sekaligus jembatan budaya antara warisan masa lalu dan selera masa kini.

“Itulah mengapa kami coba kolaborasi dengan desainer, anak-anak muda, yang mereka bisa jadi role model untuk orang-orang di sekelilingnya,” ucap Kerri.

Melalui kolaborasi ini, TobaTenun ingin menunjukkan bahwa tenun tak hanya untuk generasi tua, tetapi bisa juga tampil modern di tangan anak muda kreatif.

5. Adaptasi warna dan motif agar lebih modern

Tak sekadar mengikuti selera pasar, TobaTenun tetap menjaga pakem warisan dengan cara menyelaraskannya ke gaya kekinian. 

Warna-warna pastel dan motif kontemporer mulai digunakan untuk membuat tenun lebih fleksibel dan fashionable.

“Dari segi motif, kami juga buat dengan warna yang lebih tren tanpa meninggalkan pakem tenunnya. Motif pun juga lebih kontemporer, yang inspirasinya tetap tenun Batak tradisional,” jelas perempuan 34 tahun itu.

Kombinasi antara inovasi dan konservasi ini menjadi kunci agar tenun tetap hidup dan berkembang.

Baca juga:

6. Budaya tak akan bertahan jika tak beradaptasi

Kerri menyadari, budaya hanya akan bertahan jika ia bisa menyesuaikan diri dengan zaman. 

Terlalu kaku dalam mempertahankan tradisi justru bisa menjauhkan budaya itu sendiri dari masyarakat.

“Kita enggak bisa lestarikan budaya hanya stuck dan enggak mengikuti perkembangan zaman, yang ada akan semakin ditinggalkan budaya tersebut,” tegasnya.

Oleh karena itu, pelestarian tenun tak hanya tentang menjaga bentuk aslinya, tapi juga menjadikan budaya ini hidup di tengah masyarakat yang terus berubah.

Dengan pendekatan yang inklusif, kolaboratif, dan adaptif, TobaTenun berupaya menjadikan tenun Batak sebagai bagian dari identitas anak muda Indonesia, bukan sekadar peninggalan sejarah.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau