KOMPAS.com – Kasus video editan tak senonoh yang beredar di Semarang menjadi sorotan publik setelah seorang alumni SMAN 11 Semarang, Chiko Radityatama Agung Putra, menyebarkan konten deepfake kecerdasan buatan (AI).
Video tersebut yang menampilkan wajah guru dan teman-teman sekolahnya dalam bentuk video perempuan tanpa busana, serta diunggah ke media sosial pelaku.
Sejumlah korban bahkan telah melapor ke Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Jawa Tengah.
Baca juga: Kasus Video Deepfake AI Porno di Semarang, Psikolog Ungkap Cara Mencegah Anak Jadi Korban
Dari sisi psikologis, penyebaran video semacam ini bukan hanya bentuk pelanggaran privasi, tapi juga dapat meninggalkan luka emosional mendalam bagi korbannya.
Psikolog Meity Arianty menjelaskan, penyalahgunaan AI seperti ini memiliki dampak serius terhadap kesejahteraan mental, terutama bagi remaja yang sedang membangun identitas dirinya.
Menurut Meity, manipulasi gambar atau video menggunakan AI dapat menimbulkan perasaan malu, cemas, dan terhina yang sangat dalam.
“Manipulasi gambar semacam itu dapat menimbulkan perasaan malu, cemas, terhina, dan marah yang mendalam, terutama di kalangan remaja yang sedang dalam tahap perkembangan identitas diri dan kepercayaan diri,” jelas Meity saat diwawancarai Kompas.com, Jumat (17/10/2025).
Remaja yang menjadi korban akan merasa citra dirinya dirusak di depan publik. Rasa malu ini bisa berujung pada penarikan diri dari lingkungan sosial, kehilangan kepercayaan diri, dan bahkan menurunnya performa akademik.
Dalam banyak kasus, korban juga kerap merasa bersalah, meskipun mereka tidak memiliki kendali atas tindakan tersebut.
Lebih jauh, Meity menjelaskan, dampak psikologis ini juga bisa dikaitkan dengan teori perkembangan Erik Erikson, yang menekankan pentingnya pembentukan identitas pada masa remaja.
Baca juga: Indonesia 4 Besar di Dunia untuk Kasus Pornografi Anak, Orangtua Harus Apa?
“Menurut teori perkembangan Erikson, masa remaja adalah fase pencarian identitas, sehingga serangan terhadap citra diri yang sudah rapuh ini bisa memperburuk krisis identitas,” ujarnya.
Ketika identitas yang sedang dibangun dihancurkan oleh penyalahgunaan teknologi, remaja dapat mengalami kebingungan peran, merasa tidak berharga, dan kehilangan arah.
Serangan semacam ini bukan hanya menghancurkan reputasi, tetapi juga menimbulkan luka psikologis yang bisa bertahan lama.
Selain krisis identitas, korban video deepfake juga rentan mengalami gangguan kesehatan mental.
Meity menyebutkan, tekanan sosial dan rasa malu yang terus menerus bisa memicu gangguan kecemasan sosial, depresi, hingga trauma jangka panjang.