Tanpa disadari, seseorang mulai kehilangan kemampuan untuk menjalin interaksi yang bermakna dengan orang lain.
Dr. Nova juga menyoroti perbedaan antara generasi yang tumbuh sebelum era digital dengan generasi muda saat ini. Bagi para digital native, dunia virtual sudah menjadi bagian dari kehidupan sejak lahir.
“Kalau digital native sudah biasa seperti itu, memang hidup dia di situ. Sedangkan yang boomer atau generasi X masih punya opsi, pernah ngerasain cara komunikasi lama,” tuturnya.
Karena tidak pernah mengalami bentuk interaksi yang lebih hangat dan langsung, generasi muda sering merasa ada yang “kurang” dalam hubungan sosial mereka, meski tidak tahu apa yang hilang.
Baca juga: Ciri-ciri Orang Kesepian Menurut Psikolog, Tak Cuma Merasa Sedih
“Mereka merasa there is something missing (ada sesuatu yang hilang), tapi enggak tahu apa. Karena mereka enggak pernah ngerasain. Tapi ada rasa ketidakpuasan dalam quality of communication atau quality of interaction (kualitas interaksi) antar manusia,” ujarnya.
Kesadaran untuk mengenali kesepian ini penting agar seseorang bisa segera memulihkan diri sebelum dampaknya makin jauh.
Dr. Nova menilai, itulah mengapa pelatihan life skill atau keterampilan hidup seperti mengelola emosi, membuat keputusan, dan menghadapi stres perlu dikuatkan sejak dini.
“Anak-anak sekarang kita gencar banget dilatih life skill. Karena memang mereka punya keterbatasan dalam pola interaksi antar manusia,” ucapnya.
Baca juga: Fenomena Kesepian di Keramaian, Tersenyum di Luar tapi Hampa di Dalam
Kesepian tidak selalu tampak dari luar. Kadang, ia hadir diam-diam di antara tawa, obrolan, dan foto-foto di media sosial.
Mengenalinya adalah langkah pertama untuk kita terhubung kembali, bukan hanya dengan orang lain, tapi juga dengan diri sendiri.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang