JAKARTA, KOMPAS.com - Saat ini terdapat beberapa mal di Indonesia yang sepi pengunjung. Saking sepinya, ada mal yang hanya menyisakan beberapa toko.
Bahkan, ada mal yang tidak bisa lagi mendatangkan pengunjung, alhasil toko-toko yang tersisa terpaksa tutup dan mal ditutup permanen.
Salah satunya dialami Grand Mall Bekasi di Kota Bekasi, Jawa Barat. Sementara itu, Borobudur Plaza, mal hanya buka menjelang Hari Raya Lebaran.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APBI), Alphonzus Widjaja, ada dua penyebab mengapa saat ini banyak mal yang sepi pengunjung.
“Pertama, permasalahan fundamental. Kedua, permasalahan yang dipengaruhi makroekonomi, mikroekonomi, dan lain sebagainya,” ujar Alphonzus saat jumpa pers Indonesia Great Sale 2025 di Kantor Kementerian Pariwisata, Jakarta Pusat, Jumat (21/11/2025).
Baca juga:
Lebih lanjut, Alphonzus menjabarkan dua persoalan besar biang utama sejumlah mal di Indonesia ditinggalkan pengunjung.
Ia menyebut permasalahan fundamental perubahan gaya hidup, di mana pusat perbelanjaan sangat identik dengan gaya hidup.
Gaya hidup yang selalu berubah setiap saat dan setiap waktu, tanpa bisa diprediksi, diduga, atau diperkirakan oleh manusia, terutama pengusaha pusat perbelanjaan.
“Pusat perbelanjaan sekarang fungsinya sudah bukan lagi sebagai tempat belanja, tapi juga sudah harus bisa memberikan pengalaman ke konsumen,” kata Alphonzus.
Hal ini berkaitan dengan pandemi Covid-19 pada tahun 2020 yang menyebabkan pemerintah Indonesia menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sampai tahun 2022.
“Setelah pandemi selesai dan PPKM dicabut, yang pertama dicari bukan belanja, karena itu sudah terfasilitasi dan terwakili selama Covid-19 dengan online. Yang pertama kali dicari masyarakat interaksi secara langsung dengan sesama, bukan di dunia maya,” jelas dia.
Sebab, selama PPKM, masyarakat Indonesia lebih banyak menghabiskan waktu untuk bersosialisasi dengan sesamanya secara daring, entah lewat aplikasi bertukar pesan atau video call.
Tentunya, ini berbeda dengan ketika mengobrol langsung secara tatap muka karena kita merasa lebih “terhubung” dengan lawan bicara.
Baca juga:
Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APBI), Alphonzus Widjaja, dalam konferensi pers BINA Indonesia Great Sale 2025 di Kantor Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Jakarta Pusat, Jumat (21/11/2025).Kendati demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa fasilitas umum yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bersosialisasi secara tatap muka, tidak semuanya memadai. Salah satu pilihan yang masih “mending” adalah pusat perbelanjaan.
“Kan tidak mungkin bersosialisasi ke rumah sakit, stasiun, atau terminal. Pasti kan salah satunya (yang dipertimbangkan) adalah ke pusat perbelanjaan,” kata Alphonzus.
“Konsekuensinya adalah, kalau pusat perbelanjaan tidak bisa punya fasilitas tersebut (tempat untuk bersosialisasi), maka tidak akan dipilih pengunjung. Makanya di kota-kota besar, ada pusat perbelanjaan yang tingkat kunjungannya luar biasa, tapi ada yang semakin menurun,” sambung dia.
Fasilitas penunjang kegiatan sosialisasi bisa berupa tempat makan atau kedai kopi dengan banyak tempat duduk, tempat duduk yang tersebar di seluruh titik di mal, atau ruang terbuka dengan banyak tempat duduk.
Dengan demikian, masyarakat tidak hanya menghabiskan waktu untuk belanja, tetapi juga bercengkerama dengan sesama ketika sedang berada di pusat perbelanjaan.
“Mal-mal yang semakin sepi itu tidak bisa memberikan, merespons, gaya hidup (yang berubah). Tidak bisa memberikan fasilitas-fasilitas itu (untuk bersosialisasi),” tutur Alphonzus.