Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenapa Orang Bisa Meninggal Saat Lari? Belajar dari Insiden Siksorogo Lawu Ultra

Kompas.com, 8 Desember 2025, 12:41 WIB
Ria Apriani Kusumastuti,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Insiden meninggalnya dua peserta kategori 15 kilometer dalam ajang Siksorogo Lawu Ultra 2025, Minggu (7/12/2025), kembali memunculkan pertanyaan besar tentang risiko kematian mendadak saat berlari.

Diberitakan Kompas.com sebelumnya pada Minggu, keduanya ditemukan tak bernyawa ketika tim medis tiba di lokasi, di tengah hujan lebat yang mengguyur area perlombaan.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa aktivitas lari, meski populer dan dianggap aman, tetap menyimpan potensi bahaya jika kondisi tubuh tidak dipahami dengan benar.

Lalu, mengapa seseorang bisa tiba-tiba meninggal saat lari? Apa saja faktor pemicunya dan bagaimana mencegahnya?

Baca juga: Berbahaya untuk Kesehatan, Jangan FOMO Ikut Maraton jika Jarang Olahraga Lari!

Risiko utama: henti jantung mendadak

Dokter sekaligus Ahli Ilmu Faal Olahraga Klinis, dr. Iwan Wahyu Utomo, AIFO.K menjelaskan bahwa penyebab kematian mendadak saat llari yang paling sering terjadi adalah gangguan jantung akut, terutama pada individu yang tidak sadar memiliki masalah jantung sebelumnya.

“Banyak orang merasa sehat karena tidak ada keluhan, padahal ada kondisi jantung yang memang tidak bergejala sampai tubuh dipaksa bekerja keras,” ujarnya saat diwawancarai Kompas.com, Senin (8/12/2025).

Ia menjelaskan bahwa kelainan, seperti aritmia, penyempitan pembuluh darah, atau kelainan bawaan struktur jantung, dapat terpicu oleh aktivitas intens.

“Ketika jantung dipaksa bekerja melebihi kapasitas, risiko henti jantung meningkat. Kalau golden time pertolongan terlewat, peluang selamatnya sangat kecil,” kata Iwan.

Baca juga: Pendinginan Setelah Olahraga Penting Dilakukan, Ini Kata Atlet Lari

Dehidrasi dan kehilangan elektrolit yang diabaikan

Selain faktor jantung, ia mengingatkan bahwa lari jarak jauh membuat tubuh kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah besar. Jika tidak diganti, kondisi ini bisa berujung fatal.

“Dehidrasi berat bisa memengaruhi kestabilan jantung dan fungsi organ lain. Pelari sering merasa ‘masih kuat’ padahal tubuhnya sudah lampu merah,” jelasnya.

Tanda-tandanya bisa berupa:

  • Pusing
  • Mual
  • Meriang
  • Lemas ekstrem

“Begitu muncul gejala itu, harus berhenti. Jangan memaksakan diri,” tegasnya.

Cuaca ekstrem menambah beban tubuh

Dalam kejadian Siksorogo Lawu Ultra 2025, hujan deras membuat suhu tubuh pelari tidak stabil. Kondisi dingin ekstrem dapat memengaruhi pernapasan, daya tahan, hingga fungsi jantung.

“Cuaca ekstrem, baik panas atau dingin, memaksa tubuh bekerja dua kali lipat untuk menjaga suhu. Dampaknya bisa sangat signifikan bagi pelari,” kata Iwan.

Baca juga: Pelari Pemula Boleh Ikut Maraton, Asalkan...

Siapa yang harus menghindari lari intens?

Menurut Iwan, ada kelompok tertentu yang sebaiknya menunda aktivitas lari intens, seperti:

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau