Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petani Pun Kini Nikmati Kopi "Starbucks"

Kompas.com - 05/04/2010, 10:28 WIB

KOMPAS.com — Rumah panggung berdinding kayu itu laburannya telah kusam karena kebanyakan terkena asap dari tungku di dapur. Letaknya persis di samping kebun kopi. Kursi tamunya reyot. Televisi 14 inci, hiburan satu-satunya di rumah tersebut, tertutup taplak kumal.

Pemilik rumah, Toho Manatap Siregar, petani kopi tamatan SMP, yang punya tanggung jawab mengelola uang ratusan juta rupiah, dana komunal petani kopi hasil ekspor dengan standar perdagangan internasional yang adil.

Toho tinggal di Desa Sibuntuon Partea, Kecamatan Lintong Nihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan. Desa ini berjarak sekitar 300 kilometer dari Medan, di mana terdapat dua gerai kopi internasional, Starbucks yang menjual kopi arabika lintong. Seperti namanya, Lintong Nihuta menjadi ”rumah” bagi kopi arabika lintong. Lintong Nihuta terletak di dataran tinggi pinggiran Danau Toba sebelah tenggara, yang cocok bagi pertumbuhan kopi jenis arabika.

Di Starbucks, biji kopi arabika lintong yang sudah disangrai dihargai Rp 95.000 setiap kemasan ukuran 250 gram. Bungkusnya eksklusif. Ada dua nama untuk kopi arabika lintong yang dijual Starbucks, Sumatra dan Sumatra Decaf. Yang terakhir oleh Starbucks dibikin dengan kadar kafein lebih rendah.

Kopi arabika lintong atau biasa hanya disebut kopi lintong adalah satu dari tiga brand kopi arabika terkenal dunia yang ditanam di Pulau Sumatera. Dua lainnya adalah kopi mandheling dan kopi gayo.

Saat kami bertandang ke rumahnya, Toho menyuruh anak perempuannya menyuguhkan kopi. Ketika ditanya, apakah itu kopi lintong, Toho malah tertawa. ”Saya pun tak tahu itu kopi apa. Kami cuma jual biji kopi, sudah jarang menyangrai dan menggiling sendiri. Lebih praktis beli kopi bubuk di pasar,” katanya.

Toho tak pernah mencicipi kopi di Starbucks. Dia pun tak tahu, biji kopi dari Lintong yang diekspor, disangrai pembeli di negaranya, ternyata dijual kembali di Indonesia dengan harga sangat mahal.

Dalam rantai perdagangan internasional, di titik paling awal, petani atau buruh kebun kadang tidak mendapatkan bagian yang adil dari keuntungan perdagangan. Petani tetap miskin. Padahal, hasil kebunnya bernilai sangat tinggi di pasar internasional, seperti kopi arabika lintong ini.

Beruntung Toho bergabung dalam Asosiasi Petani Kopi Lintong Organik (APKLO). Organisasi petani berdiri sejak 21 Oktober 2003. APKLO merupakan gabungan beberapa kelompok tani di dua kecamatan, Lintong Ni Huta di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Siborongborong di Kabupaten Tapanuli Utara.

Pada tahun 2005 APKLO mendapat sertifikasi dari Fairtrade Labeling Organization (FLO), jaringan organisasi nirlaba berbasis di Bonn, Jerman, yang menyokong perdagangan internasional berjalan adil bagi penghasil komoditas seperti petani dan buruh. APKLO mendapat sertifikasi FLO setelah didampingi Wakachiai Project, sebuah lembaga swadaya masyarakat dari Jepang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com