Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak Gemar Menyiksa Binatang, Kapan Perlu Dikhawatirkan?

Kompas.com - 09/03/2020, 16:00 WIB
Lusia Kus Anna

Editor

KOMPAS.com – Anak-anak biasanya gemas terhadap hewan-hewan peliharaan di rumah, seperti anjing atau kucing. Namun, waspadai jika perilakunya cenderung menyiksa dan ia melakukannya hanya karena “iseng” atau untuk bersenang-senang.

Sejak tahun 1970-an para pakar secara konsisten melihat kekejaman anak pada hewan adalah tanda pertama dari perilaku kekerasan dan criminal.

Faktanya, hampir semua pelaku kejahatan dan psikopat memiliki riwayat pernah melakukan penyiksaan binatang.

Di Amerika, Albert deSavlo yang terbukti membunuh 13 perempuan, mengaku pernah memanah anjing dan kucing yang berkeliaran di sekitar rumahnya ketika ia kecil. Pembunuh berantai Carrol Edmund Cole juga mengaku tindakan kekerasan pertamanya adalah mencekik anak anjing sampai mati.

Memang tidak semua penyiksaan yang dilakukan anak bersifat sadis. Terkadang, ada anak yang “hanya” menarik ekor kucing atau menduduki punggung anjing. Tetapi, kapan orangtua harus khawatir pada perilaku anaknya? Bagaimana membedakan perilakunya itu bersifat eksperimen atau tanda-tanda gangguan mental?

Baca juga: Bisakah Anak-anak Menjadi Psikopat?

Menurut psikolog Jon E Johnston, anak yang menyiksa hewan pernah melihat atau mengalami kekerasan pada dirinya. Sebagai contoh, statistik menunjukkan 30 persen anak yang menyaksikan kekerasan di dalam rumahnya akan menirunya pada hewan.

“Kaitan antara menyiksa hewan dan perilaku kekerasan sudah lama diketahui, itu sebabnya sekarang di Amerika pekerja sosial dan badan perlindungan hewan melakukan pelayanan lintas bidang untuk mengenali indikator pelaku kekerasan,” kata Johnston seperti dikutip dari Psychologytoday.

IlustrasiThinkstockphotos Ilustrasi

Alasan perilaku

Bagi dokter, psikolog, atau psikiater, anak-anak yang senang menyiksa binatang harus diwaspadai sebagai tanda mereka mengalami kekerasan fisik atau psikologi.

Motivasi dari perilaku menyiksa binatang memang berbeda-beda, tetapi secara umum dalam beberapa wawancara ada beberapa alasan anak melakukannya:

- Penasaran atau ingin melakukan eksplorasi (misalnya, jika binatang terluka atau mati).
- Tekanan teman sebaya (disuruh oleh teman).
- Pelepasan emosi dari rasa bosan atau depresi.
- Kepuasan seksual.
- Dipaksa menyiksa binatang oleh orang yang lebih berkuasa dari anak.
- Rasa kelekatan pada hewan (misalnya anak membunuh hewan supaya tidak disiksa oleh orang lain).
- Fobia binatang.
- Identifikasi dengan penyiksa anak (misalnya anak yang jadi korban kekerasan mencoba memiliki rasa berkuasa dengan menyiksa hewan yang lemah).
- Meniru tindakan orang dewasa atau orangtua.
- Mempraktikkan kekerasan pada binatang sebelum melakukannya pada orang lain.

Baca juga: Jalani Tes Kejiwaan, Remaja Pembunuh Bocah di Sawah Besar Diisolasi di RS Polri

Yang harus dilakukan:

Memang tidak semua tindakan penyiksaan pada binatang merupakan tanda anak tersebut akan tumbuh menjadi psikopat. Pada anak usia prasekolah, rasa ingin tahunya terkadang membuat mereka melakukan tindakan berlebihan pada hewan peliharaan.

Orangtua bisa mengajari anak bahwa binatang-binatang itu juga sahabat manusia, sambil memberi contoh cara memperlakukan yang tepat.

Waspadai jika anak sering melakukan penyiksaan, seperti mengurung hewan di tempat tertutup, menyiksa hewan setelah anak bermasalah dengan orangtuanya, atau merasa senang melihat hewan tersiksa.

Jika anak menunjukkan tanda berbahaya, ajak anak berkonsultasi dengan profesional. Apalagi jika ia sebenarnya sudah cukup memahami bahwa apa yang dilakukannya salah dan tetap mengulanginya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com