Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rasa Bersalah Ibu pada Anak, Kapan Masih Wajar dan Kapan Perlu Diwaspadai?

Kompas.com, 13 Desember 2025, 18:31 WIB
Devi Pattricia,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

Konsultasi Tanya Pakar Parenting

Uraikan lika-liku Anda mengasuh anak jadi lebih simpel

Kenali soal gaya asuh lebih apik lewat konsultasi Kompas.com

JAKARTA, KOMPAS.com – Rasa bersalah kerap muncul dalam proses pengasuhan anak. Perasaan ini bisa datang dari ekspektasi menjadi ibu yang ideal, keterbatasan waktu, hingga kondisi yang tidak sesuai dengan rencana awal. 

Psikolog Anak, Remaja, dan Keluarga Farraas Afiefah Muhdiar menjelaskan, rasa bersalah sering berawal dari ekspektasi yang tidak seimbang dengan kondisi nyata yang dimiliki ibu.

“Misalnya aku punya ekspektasi, aku pengen jadi ibu yang standarnya segini, tapi ternyata resources yang dipunya enggak memadai, waktunya enggak ada atau enggak ada yang bantu,” jelas Farraas saat diwawancarai Kompas.com di Jakarta Selatan, (10/12/2025).

Kondisi tersebut, menurut Farraas, menjadi titik awal munculnya tekanan emosional yang jika tidak disadari bisa berkembang menjadi stres yang tidak wajar.

Lantas, kapan perasaan tersebut masih bisa dianggap wajar dan kapan justru menjadi tanda stres yang tidak sehat?

Baca juga: Rasa Bersalah dalam Pengasuhan Anak, Wajar atau Tanda Stres Berlebih?

Ketika ekspektasi terlalu jauh dari realita

Farraas menegaskan, ekspektasi terhadap diri sendiri tidak selalu buruk. Namun, masalah muncul ketika harapan tersebut sangat jauh dari realita dan sumber daya yang dimiliki.

“Hal ini akhirnya bisa memicu stres yang tidak wajar pada ibu. Ekspektasi itu akan berbahaya ketika sangat jauh dari realita,” ujarnya.

Dalam praktiknya, banyak ibu merasa harus selalu hadir, sabar, dan mampu memenuhi semua kebutuhan anak, tanpa mempertimbangkan keterbatasan fisik, emosional, maupun sosial. 

Ketika kenyataan tidak sesuai dengan gambaran ideal tersebut, rasa bersalah pun muncul dan perlahan menggerus kesejahteraan mental.

Baca juga: Tak Ingin Anaknya Mewarisi Trauma, Ini Cara Rosita Mengelola Rasa Bersalah

Ilustrasi sedih.Dok. Freepik/Freepik Ilustrasi sedih.

Cara mengenali rasa bersalah yang masih wajar

Menurut Farraas, salah satu cara untuk menilai apakah rasa bersalah masih dalam batas wajar adalah dengan melihat dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.

“Bagaimana kita tahu itu wajar atau tidak? Bisa dilihat sejauh mana itu memengaruhi sehari-hari,” kata Farraas.

Rasa bersalah yang masih tergolong sehat biasanya bersifat sementara. Ibu mungkin merasa tidak nyaman atau menyesal sesaat, tetapi tetap mampu menjalani aktivitas dan perannya dengan baik.

”Kalau rasa bersalahnya cuma selewat aja, tapi setelah itu tetap bisa melanjutkan aktivitas, itu enggak masalah,” jelasnya.

Baca juga: Kisah Para Ibu Bekerja Menghadapi Dilema dan Rasa Bersalah Saat Menitipkan Anak ke Daycare

Dalam konteks ini, rasa bersalah justru dapat menjadi sinyal refleksi diri yang membantu ibu mengevaluasi pengasuhan tanpa harus terjebak dalam penilaian negatif terhadap diri sendiri.

Tanda rasa bersalah yang sudah tidak sehat

Masalah mulai muncul ketika rasa bersalah berlangsung terus-menerus dan mulai mengganggu fungsi sehari-hari. Farraas menyebutkan beberapa tanda yang perlu diwaspadai.

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau