Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak Belajar Kebencian dari Orang Dewasa di Sekitarnya

Kompas.com, 8 Juni 2017, 07:10 WIB
Iwan Supriyatna

Penulis

Belum lama ini kita dihebohkan dengan beredarnya video anak-anak yang melakukan pawai keliling namun menyanyikan lagu bernuansa kekerasan. Tanpa merasa bersalah, anak-anak itu dengan lantang menyanyikan lagu tersebut sambil berpawai.

Itu hanyalah salah satu contoh dari darurat toleransi beragama di Indonesia. Sebelumnya netizen juga terkejut dengan viralnya surat intimidasi yang dilakukan seorang anak SD terhadap temannya dengan mengatakan kafir.

Psikolog dan pemerhati anak, Seto Mulyadi, mengatakan, perilaku anak-anak tersebut merupakan cerminan dari apa yang diterimanya dari lingkungan terdekatnya, mulai dari keluarga, sekolah, atau lingkungan teman-temannya.

"Sebenarnya mereka belum mengerti dengan apa yang diucapkannya. Tapi, bagaimana dengan 10 atau 20 tahun mendatang ketika anak-anak itu menjadi dewasa," kata pria yang akrab disapa Kak Seto ini ketika berbincang dengan Kompas Lifestyle (6/6/2017).

Ia mengungkapkan, usia anak-anak adalah waktu yang tepat untuk membentuk karakternya. Sampai dengan anak berusia 15 tahun, karakter anak didapat dari proses belajar dan menyerap lingkungannya.

"Bisa menulis, lancar berbicara, atau bernyanyi itu semua didapatkan dari proses belajar. Demikian pula dengan menghujat, melontarkan senyum, atau tahu berterimakasih," ujar Ketua Komnas Perlindungan Anak ini.

Sayangnya, menurut dia, saat ini kita sebagai orang dewasa lebih sering mempertontonkan kekerasan pada anak, baik secara formal atau nonformal.

"Kita lupa mengajarkan indahnya kebersamaan, kita lupa mengajarkan indahnya perbedaan dan keragaman. Selain itu, anak juga selalu dihadapkan pada gadgetnya dan televisi dan bukan tidak mungkin ia akan mudah meniru suatu perilaku tertentu," ucapnya.

Anak-anak mengenal kebencian dan sikap intoleran dari doktrin yang diterima dari orang dewasa di sekitarnya. Menurut Kak Seto, ini adalah bibit munculnya radikalisme.

Sebagai orangtua, seharusnya kita menjauhkan anak dari jeratan radikalisme, dimulai dengan mengajarkan indahnya keberagaman. Gunakan bahasa yang mudah dimengerti anak, sesuai dengan tingkat usianya.

"Berikan contoh indahnya bunga-bunga yang ada di taman. Keberagaman bunga yang ada di taman bisa diibaratkan seperti lingkungan sehari-hari, ada orang keturunan Arab, ada China, Jawa, Batak dan lainnya, mana yang paling baik? Semuanya adalah baik. Itu yang harus ditanamkan kepada anak-anak," sarannya.

Jika kita tidak ingin melihat generasi penerus yang intoleran dan penuh kekerasan, ajak mereka berdiskusi dan berikan contoh nyata pentingnya bersikap terbuka terhadap masyarakat Indonesia yang majemuk.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau