Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka Dijual dan Dilacurkan

Kompas.com - 31/01/2009, 05:41 WIB
  Ahmad Arif dan Sarie Febriane

Kemiskinan membuat mereka meninggalkan kampung halaman menuju Malaysia. Namun, nasib mereka berakhir di tangan sindikat perdagangan manusia. Mereka dijual, disekap, dan dilacurkan tanpa dibayar.

Rabu (28/1), Kepolisian Diraja Malaysia dan perwakilan Kepolisian Negara RI (Polri) di Kuching kembali membebaskan lima perempuan korban human trafficking (perdagangan manusia). Mereka kini ditampung di Konsulat Indonesia di Kuching.

”Dua korban berasal dari Banjarnegara, Jawa Tengah, dan tiga lainnya dari Kalimantan Barat. Usianya masih belasan tahun,” kata Komisaris Hendra Wirawan, perwakilan Polri di Kuching, Malaysia.

Kelima korban itu menjadi korban perdagangan manusia yang bermodus agen tenaga kerja. Mereka dilacurkan secara paksa. Sindikat perdagangan manusia kini juga beroperasi dengan modus penculikan, seperti yang dialami SS (15), siswi SMP asal Lampung. SS bebas pada Desember 2008.

Dalam satu bulan ini sudah 14 perempuan Indonesia korban trafficking dibebaskan dari tangan sindikat perdagangan manusia di Malaysia.

Namun, korban yang berhasil dibebaskan ini hanyalah fenomena puncak gunung es. ”Masih ada ribuan lagi yang kami yakini masih berada di tangan sindikat itu,” kata Hendra.

Kemiskinan

Pengalaman tragis tentang buruh migran Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia di luar negeri sudah berkali-kali dikisahkan. Kemiskinan di negeri sendiri menjadi penyebab tetap tingginya arus buruh migran Indonesia.

Simaklah kisah Rani (16)— bukan nama sebenarnya—salah satu korban yang baru terbebas, Jumat (9/1). Tubuhnya mungil dan wajahnya manis. Ia baru saja tamat SMP ketika seorang agen pencari tenaga kerja bernama Lisa menawarinya menjadi penjaga kedai di Malaysia dengan gaji 8.000 ringgit per bulan.

”Kami keluarga miskin. Adik saya banyak. Dengan gaji segitu, saya berpikir bisa membiayai sekolah adik-adik,” kata gadis berkulit kuning ini.

Rani terbujuk. Tanpa paspor, dia dibawa Lisa menyeberang ke Malaysia. Di sana, Lisa menjual Rani kepada seorang warga negara Malaysia bernama Abu, yang lalu menjualnya lagi kepada Alung.

Oleh Alung, Rani disekap di salah satu rumah di Lorong Satok, Jalan Kepayang, Taman Rose, Kuching. Rani dipaksa melacur. Tiap hari Rani harus melayani 2-3 pelanggan. ”Ia (Alung) bilang, saya berutang kepadanya karena dia telah membeli kami dari Abu. Setelah melayani 100 pelanggan, utang saya baru lunas, baru saya bisa bebas,” kata Rani.

Namun, setelah setahun Rani disekap dan dilacurkan, tak ada tanda-tanda ia akan dibebaskan oleh Alung. Akhirnya, Kepolisian Diraja Malaysia mendapat laporan adanya perempuan-perempuan yang disekap di salah satu rumah di Lorong Satok. Polisi lalu membebaskan Rani dan tujuh temannya—semuanya warga negara Indonesia.

Mencari perempuan-perempuan yang berada di tangan sindikat perdagangan manusia ini seperti mengejar bayang-bayang.

”Kami di sini hanya menerima limpahan masalah. Tiap hari masih ada korban baru yang masuk ke Malaysia,” kata Hendra.

Pertanyaannya, kenapa para korban itu bisa dengan mudah dibawa masuk ke Malaysia?

Di depan mata aparat

Pertanyaan tersebut dapat dengan mudah terjawab jika suasana di Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong-Tebedu (Malaysia) diamati. Gerbang perbatasan dua negara ini sangat longgar.

Mobil-mobil pribadi bebas keluar masuk tanpa diperiksa oleh pihak imigrasi. Mereka yang melintas ke Malaysia tidak perlu mengecap paspor. Bus-bus yang lewat pos gerbang juga tidak diperiksa. Tak ada petugas yang mengecek penumpang yang tetap berada di dalam bus.

Kepala Kantor Imigrasi PPLB Entikong Sugeng Harjanto mengatakan, pihaknya memang memberikan kelonggaran kepada warga Entikong untuk melewati pos perbatasan tanpa pemeriksaan paspor. Namun, Sugeng membantah kelonggaran itu digunakan oleh sindikat perdagangan manusia untuk membawa korbannya.

Menurut Hendra, lima korban yang dibebaskan polisi, Rabu lalu, masuk ke Malaysia tanpa paspor lewat PPLB Entikong. ”Mereka lewat Entikong dengan bus,” katanya.

Direktur Jenderal Imigrasi Basyir Ahmad Barmawi ketika dihubungi mengaku telah memanggil aparat imigrasi di Entikong terkait dengan maraknya perdagangan manusia melalui Entikong. ”Saya akan cross check soal itu dulu, tolong saya dibantu,” kata Basyir.

Berdasarkan informasi yang dihimpun di lapangan, hingga saat ini pun tak ada perubahan berarti di perbatasan Entikong. Orang masih bebas keluar masuk perbatasan tanpa pemeriksaan cermat.

Rani dan entah berapa banyak perempuan Indonesia selama ini rupanya dijual tanpa perlu sembunyi-sembunyi dari aparat.

Mereka dibawa sindikat perdagangan manusia melintas bebas di depan mata aparat. Ini setidaknya di Entikong. Tak hanya petugas imigrasi, di perbatasan ini juga ada petugas Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, aparat kepolisian, dan tentara perbatasan Batalyon Lintas Batas.

Di balik perdagangan manusia ini memang ada sindikat yang senantiasa memanfaatkan kemiskinan. Akan tetapi, sebenarnya ada juga dosa negara yang abai dalam melindungi rakyatnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com