Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Untuk Apa Menikah?

Kompas.com - 23/03/2010, 08:01 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketika remaja, orang bermimpi untuk segera menikah dengan pasangan yang diidam-idamkan. Namun, tidak semua mewujudkan impian untuk menikah dengan berbagai alasan. Bahagiakah mereka?

Bagi banyak orang, menikah merupakan suatu panggilan mulia. Di dalamnya ada cinta sekaligus tanggung jawab terhadap orang yang dicintai. Dalam pernikahan, seseorang menyatukan diri dengan seorang lawan jenis yang menjadi pilihannya untuk mencapai kebahagiaan bersama.

Pernikahan idealnya merupakan sebuah muara dari sungai cinta/kasih sayang dan paduan komitmen antardua individu yang berbeda jenis. Dengan demikian, perkawinan dapat diharapkan menjadi tumpuan kebahagiaan bagi pasangan yang menjalaninya.

Namun, sayang sekali, tidak semua orang dapat merealisasikan keinginannya untuk menikah dengan orang yang dicintai. Sebagian dari mereka tetap melajang dan sebagian lainnya akhirnya menikah dengan berbagai alasan: mengikuti kehendak orangtua, demi status, demi kesejahteraan fisik (materi), dan lain-lain.

Sebagian orang lainnya tidak menemukan daya tarik nyata dari pernikahan. Bagi mereka, pernikahan lebih merupakan serentetan tanggung jawab, bahkan mungkin merupakan serentetan persoalan.

Apabila demikian, pernikahan ibarat kontrak yang tidak menarik untuk dijalani. Mereka yang berpandangan negatif seperti itu sejak awal sebelum menikah tentu saja cenderung memilih untuk tidak menikah.

Anehnya, mereka yang memilih tetap melajang pada kenyataannya juga tidak selalu tenang menikmati masa-masa melajang. Banyak di antara mereka mengalami keraguan pada usia matang, menjelang 30 hingga 40 tahunan, bertanya-tanya mengenai pilihannya sendiri: benarkah tidak perlu menikah?

Alasan menikah
Hampir setiap orang setuju bahwa menikah merupakan suatu panggilan mulia bagi mereka yang telah mencapai usia dewasa. Meski demikian, ternyata begitu beragam alasan orang memutuskan menikah.

Penelitian yang dilakukan Patterson & Kim pada 1990-an (dalam Marriages & Families: Changes, Choices & Constrains, karangan Nijole V Benokraitis) menyatakan, ada beberapa alasan mengapa orang memutuskan untuk menikah.
Ternyata, posisi pertama (alasan terbanyak) adalah cinta (36%). Alasan kedua, meneruskan hubungan yang sudah terjalin (14%). Alasan ketiga, untuk memiliki anak (12%). Alasan keempat, menganggap pernikahan adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan atau alasan ingin berbahagia (9%).

Alasan kelima cukup konotatif, yaitu karena uang (5%). Alasan keenam, karena pernikahan sudah menjadi kebiasaan (5%). Alasan ketujuh, karena ingin menggantungkan diri dan hidup dengan pasangan (3%). Alasan yang berada di posisi paling akhir adalah karena takut terkena AIDS (2%).

Alasan menikah karena cinta dari hasil penelitian Patterson & Kim itu merupakan alasan terbanyak, sama dengan hasil penelitian dekade (10 tahunan) sebelumnya yang dilakukan oleh Pietropinto & Simenauer (1979). Namun, persentase alasan cinta pada penelitian yang sebelumnya ini lebih besar, yakni 56% pada wanita dan 39% pada pria.

Penelitian-penelitian tersebut memang dilaksanakan beberapa belas tahun lalu, dan yang lain telah lebih dari 20 tahun lalu, itu pun dilakukan di Amerika Serikat. Sayang sekali sulit untuk menemukan hasil survei seperti itu di Indonesia.
Jika survei itu dilakukan di Indonesia, kita akan mendapatkan hasil yang benar-benar menggambarkan keadaan di Indonesia tentang alasan mengapa seseorang memutuskan menikah, termasuk pergeseran-pergeseran nilai (value) yang menjadi latar belakangnya.

Meski demikian, dengan data tersebut, kita dapat mengasumsikan lebih kurang sama dengan keadaan di Indonesia, mengingat di sini cinta juga paling dapat diterima sebagai alasan menikah. Alasan-alasan lain, seperti memiliki keturunan, melengkapi status, dan alasan ekonomi,  juga sering terdengar meski bukan alasan terbanyak.
Apakah alasan menikah karena cinta ini pada masyarakat kita juga makin berkurang jumlahnya? Kita dapat menduga hal itu juga terjadi, melihat kenyataan makin banyak orang sulit menemukan pasangan hidup meski usia telah matang.

Salah satu petunjuk ialah semakin diminatinya rubrik jodoh pada sejumlah media massa (cetak dan elektronik). Tampak bahwa kebutuhan menikah lebih dulu mencuat sebelum menemukan orang yang dicintai. Pada akhirnya, mungkin banyak yang menikah sebelum benar-benar menemukan cinta pada pasangan.

Dimulai dengan cinta?
Bahwa cinta merupakan alasan menikah paling ideal dan paling banyak menjadi alasan menikah, tetapi apakah memang perkawinan harus dimulai dengan cinta?
Alkisah, seorang wanita lajang yang sangat cantik, berusia 43 tahun, sangat percaya bahwa tanpa cinta, perkawinan akan sia-sia. Karena orang yang dicintainya telah menjadi milik orang lain, ia memilih tidak menikah. Meski banyak orang yang mendekatinya dan tak jarang ia merasa kesepian, ia merasa lebih baik tidak menikah apabila tidak dengan orang yang dicintai.

Benarkah bahwa perkawinan harus dimulai dengan cinta? Seperti yang dinyatakan beberapa tokoh (Rogers, 1972; Buss, 1985), dalam perkawinan yang diharapkan terutama adalah hubungan erat yang intim, hangat, dan jujur. Jika dilandasi dengan cinta, relasi yang intim-hangat-jujur, lebih dapat diwujudkan.

Meski demikian, melalui berbagai kisah yang pernah kita dengar dari generasi kakek dan nenek kita, kita juga menemukan kenyataan bahwa kebahagiaan dalam relasi perkawinan juga dapat dicapai meski hanya dimulai dengan komitmen. Dimulai dengan komitmen (tidak sedikit yang menikah karena dijodohkan orangtua) untuk menikah, mereka terus membangun hubungan, mengembangkan cinta, dan menemukan kebahagiaan dalam perkawinan.  

Jadi, di dalam cinta memang ada komitmen; tetapi melalui komitmen timbal balik untuk merajut cinta juga dapat diharapkan bahwa cinta yang sebenarnya akan dapat tumbuh. Hasilnya, relasi yang intim-hangat-jujur dalam perkawinan sama-sama dapat diwujudkan.

Namun, dalam zaman yang menawarkan banyak pilihan, seperti sekarang ini, tidak mudah lagi orang memulai perkawinan hanya dengan komitmen. Orang lebih mudah mengarahkan komitmennya pada hal lain (pekerjaan, hobi, dan lain-lain) daripada berkomitmen pada seseorang tanpa ketertarikan yang kuat.

Menikah atau tidak
Relasi yang intim, hangat, dan jujur merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang dalam mengisi hidup ini. Hubungan yang penuh cinta dapat mewujudkan hal itu. Dengan cinta, seseorang dapat mengisi kekosongan dirinya, yang oleh Erich Fromm disebut sebagai kekosongan eksistensial.

Dengan demikian, tampak bahwa manusia terpanggil untuk hidup saling mencintai. Di dalam hubungan yang erat, hangat, dan jujur karena saling mencintai, kita terdorong untuk hidup saling memberi-menerima dan terus bertumbuh bersama menjadi pribadi yang matang. Yang menjadi pertanyaan kita: apakah ini hanya dapat diwujudkan dalam perkawinan?

Perkawinan merupakan bentuk hubungan yang eksklusif, sangat intim, melibatkan aspek fisik (biologis) dan mental yang sangat mendalam. Di dalamnya, pria dan wanita mengalami persatuan utuh. Itulah sebabnya di dalam perkawinan setiap orang dapat menemukan kepenuhan pribadi dan makna hidup. Namun, apakah hal ini berarti orang tidak dapat menemukan kepenuhan pribadi dan makna hidup di luar perkawinan?  

Harus diakui bahwa pada dasarnya manusia terpanggil untuk hidup berpasang-pasangan. Hal ini tampak dalam kodrat kita yang memiliki jenis kelamin tertentu, dengan ketertarikan pada jenis kelamin lainnya. Namun, di luar keadaan yang umum, selalu saja terdapat alternatif.

Ada orang-orang yang dapat menyublimasikan dorongannya untuk bersatu secara eksklusif dengan lawan jenis ke dalam hubungan cinta yang universal.
Fenomena ini kita temukan pada pribadi-pribadi yang memilih mengabdikan diri untuk melayani orang lain. Bukan saja para biarawan, tetapi juga orang-orang lain yang menemukan kepenuhan pribadi, kebahagiaan, dan makna hidup, dengan melayani orang lain dengan cinta kemanusiaannya yang universal.

Jadi, tampaknya yang penting adalah bagaimana seseorang menemukan makna hidupnya di tengah-tengah keberadaannya bersama orang lain. Makna itu dapat ditemukan jika seseorang memberikan diri kepada orang lain dengan cintanya yang luhur, baik kepada seorang lawan jenis dalam hidup perkawinan maupun kepada banyak orang dengan cinta kemanusiaannya yang universal.

Tanpa itu, orang akan tetap merasakan kekosongan dalam hidupnya, seperti halnya wanita cantik yang disebutkan di atas. Itu pula sebabnya mengapa banyak orang enggan menikah, tetapi juga ragu-ragu pada keadaan lajangnya di usia yang telah matang.

Apabila demikian, apa yang sebaiknya dilakukan? Kita akan telusuri dalam tulisan mendatang. @

M.M Nilam Widyarini MSi
Kandidat Doktor Psikologi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com