Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tahu Motif Batik "Selimut van Banten"?

Kompas.com - 30/07/2011, 17:42 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Di tengah menjamurnya batik-batik khas daerah, batik Banten muncul dengan sejarahnya. Usut punya usut, batik ini tidak sembarang dibuat. Ada unsur sejarah dalam setiap motifnya.

"Ini motifnya (digali) dari arkeologi," ujar Asep Syaipulloh, perajin batik Banten kepada Kompas.com pada pameran kerajinan "Produk Unggulan Nusantara (ICRA) 2011" di Jakarta Convention Center, Jakarta, Sabtu (30/7/2011).

Ia menjelaskan, motif-motif batik Banten tersebut berasal dari hasil penggalian tujuh orang profesor bidang arkeologi yang melakukan penggalian di wilayah Serang, Banten, tahun 1990-an. Hasilnya, ditemukan puing-puing reruntuhan pusat kejayaan pemerintahan Islam Kesultanan Banten. Oleh sebab itu, dalam spanduk di stannya pun tertulis "Artefak Terwengkal dalam Rekonstruksi Arkeologi yang telah Ditransformasi ke Media Kain Katun".

"Banten ini kan bersejarah waktu Kesultanan Hasanuddin. Itu Banten Lama," katanya.

Lalu, bagaimana temuan puing tersebut jadi motif batik Banten?

Dengan sedikit bersemangat, Asep menjelaskan, salah satu orang yang menemukan motif tersebut adalah almarhum Profesor Hasan Hambari, satu dari tujuh arkeolog yang melakukan penggalian. Setelah itu, motif diusulkan untuk diterapkan pada kain batik melalui musyawarah kerja nasional di Banten. Akhirnya, lanjutnya, kini batik Banten dikelola oleh Bapak Uke Kurniawan.

"Ide (usaha batik) dari Pak Uke. Tadinya orang PU (Pekerjaan Umum). Setelah dia pensiun, punya ide buat batik karena pas dia lihat ada motifnya," ujar Asep.

Motif yang dilihat dari puing-puing reruntuhan kerajaan ini sempat akan diterapkan dalam pembuatan ornamen. Namun, hal itu urung dilakukan dengan alasan mahalnya harga.

Kini, baru 30 dari 75 motif yang ditemukan dan dijadikan motif dalam kain batik. Motif-motif itu pun bisa dikatakan serupa dengan motif yang ditemukan.

"Tidak ada yang diubah sebetulnya, hanya ada sedikit yang dipadukan saja," paparnya.

Ia menambahkan, batik Banten ini berbeda dengan batik Jawa pada umumnya.

"Ada tiga perbedaan dengan batik Jawa, (yaitu) motif, warna, yang cenderung soft, (dan) ketiga filosofinya," ungkapnya.

Ia pun berusaha menjelaskan makna di balik sejumlah motif. "Motif kawangsan adalah nama gelar yang diberikan kepada Pangeran Wangsa dalam penyebaran agama Islam dan pemerintah di Banten," sebutnya.

Selimut

Setiap motif batik Banten yang baru diperkenalkan pada 2004 ini mempunyai makna atau filosofi. Saat ini, usaha batik Banten berada di bawah bimbingan Dinas Pariwisata Banten.

Ia menuturkan, batik tertua berada di Banten adalah motif selimut van Banten, yang berasal dari abad ke-14 dan ke-15. Batik Banten ini pun diproduksi dalam bentuk semi tulis.

"Semi antara cap dan tulis karena kalau tulis tidak terjangkau sama masyarakat," ujar Asep.

Alhasil, harga batik ini pun memang terjangkau. Untuk bahan katun dengan ukuran 2,5 meter, misalnya, dihargai Rp 100.000. Termahal dengan bahan ATBM seharga Rp 700.000.

"(Bahan) sutra harganya Rp 400.000," ujarnya sambil menyebutkan produksi per bulan bisa lebih dari 200 potong kain.

Tidak hanya sebatas penjualan, usaha batik Banten ini pun membuka kelas pelatihan bagi para pelajar dari TK hingga mahasiswa. Sementara ini, usaha yang dikerjakan oleh 30 pegawai ini belum sampai pada tahap ekspor. Sekalipun demikian, ia mengungkapkan, tidak jarang turis datang untuk membeli langsung ke galeri yang terletak di Jalan Bayangkara No 5, Kecamatan Cipocok, Serang, Banten, ini.

"Memang, galeri kami (hanya) sekitar 3 kilometer dari tempat penggalian arkeologi," kata Asep.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com