Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dhyani Widiyanti: Membaca Kaum Urban

Kompas.com - 27/10/2011, 07:15 WIB

KOMPAS.com - ”Saya tidak ingin difoto tanpa karya saya!” Kalimat itu tegas keluar dari mulut Dhyani Widiyanti Hendranto, perupa yang kenyang melanglang buana. Buat Dhyani, karya lebih penting dibanding dirinya. Katanya, ia hanyalah sebuah titik di tengah semesta.

Kami bertemu Dhyani di ruang pamer Bentara Budaya Jakarta (BBJ) menjelang senja. Di sanalah ia pamer karya bersama karya enam perempuan seniman lain. Ia tampil kasual dengan blus, celana jins, sepatu berhak datar yang semuanya berwarna hitam.

Penampilannya sungguh sederhana. Sebagai seniman perhiasan, ia justru tidak mengenakan banyak perhiasan yang tampak wah dan bling-bling. Kami coba bertanya tentang pilihan busananya itu. Dan, dia dengan lincah menjawab, ”Aku nyaman dengan penampilan seperti ini. Modern itu tidak dinilai berdasarkan apa yang kamu pakai, tetapi apa yang ada dalam diri kami, yakni cara kamu berpikir.”

Wow! Kami sekarang paham mengapa ia begitu ngotot hanya mau difoto bersama karya yang tidak lain adalah hasil olah pikirnya. Dhyani memilih beberapa perhiasan yang dipamerkan di BBJ sebagai ”teman” sesi foto sore itu. Salah satunya adalah perhiasan serupa kalung yang dibuat dari bahan serbet, kulit, dan logam. ”Ini serbetnya kaum urban. Bagus karena belinya di mal,” katanya, berseloroh.

Dia meletakkan perhiasan itu di lehernya yang jenjang. Ketika kamera mengarah kepadanya, matanya memandang tegas. Ekspresi wajahnya yang semula datar menjadi sangat hidup. Setiap bunyi klik pada kamera berbunyi, dia berganti pose. Saat itu, ia dan perhiasan menjadi sebuah karya yang utuh.

Di sela-sela pemotretan, Dhyani bercerita, karya-karyanya merupakan hasil pembacaan terhadap kehidupan urban, terutama perempuan. ”Beberapa karakter perempuan urban aku tuangkan dalam karyaku. Ini hasil observasi, jadi tidak asal comot,” kata perempuan yang belajar seni perhiasan di Jerman dan India ini.

Setiap karya itu, lanjutnya, membawa pesan. Karya ”Pick Up Boo” yang terbuat dari bahan kondom, kulit, kuningan, dan polimer, misalnya, menggambarkan perempuan urban yang berkarakter bebas sekaligus teliti dan memikirkan proteksi terhadap diri sebelum melakukan sesuatu.

Lewat karya berjudul ”Cross Mislead Civilization,” ia bercerita tentang perempuan urban yang mengonsumsi rokok berfilter karena ingin dianggap modern dan gaul. ”Yang begitu, kan, banyak di kafe-kafe,” katanya.

Transit
Dhyani memang fasih bicara tentang manusia urban khususnya perempuan. Selain karena studinya terkait budaya urban, dia juga punya banyak pengalaman bergaul dengan berbagai adonan kebudayaan asing ketika dia menetap di Jerman, Perancis, India, dan Australia.

Persentuhan dengan budaya asing itu, lanjut Dhyani, di satu sisi memperkaya caranya berpikir. Di sisi lain menyodorkan pertanyaan tentang siapa dirinya dan identitas kebudayaannya.

”Apakah sebagai perempuan urban saya harus merokok? Apakah saya harus pakai barang bermerek agar diakui di lingkungan pergaulan? Atau pakai model rambut yang macam-macam agar terlihat modern?”

Dan, Dhyani akhirnya menemukan jawabannya: perempuan urban tidak harus seperti itu. Dia bisa tampil nyaman dengan identitas pribadinya. Urusan bagus atau tidak itu urusan belakangan.

Jawaban itu muncul karena Dhyani sadar, di mana pun dia berada dan di tengah kebudayaan apa pun, ia adalah perempuan Jawa yang dari kecil ditanamkan nilai-nilai Jawa. Ia juga seorang ibu dari seorang anak perempuan bernama Daleescha Heide (10). Sebagai ibu, dia merasa punya tanggung jawab untuk mengarahkan anaknya.

”Saya sulit membayangkan seperti apa kehidupan anak perempuan saya ketika ia besar di peradaban baru, dengan segala simbol barunya yang dimaknai dengan cara yang baru.”

”Semuanya bergerak serba cepat dan selintas. Akhirnya kita harus mengidentifikasi diri sendiri, ada di jalur mana kita berada? Kita mau seperti apa? Apakah menjadi modern itu berarti harus mengonsumsi semua yang ada di mal?” lanjutnya.

Dhyani sendiri tidak menolak benda-benda bermerek yang telanjur dianggap sebagai simbol urban dan modern. Pasalnya dia tahu, citra orang tidak melulu ditentukan oleh apa yang melekat di tubuh.

”Saya tidak ingin menilai orang atas pilihan yang mereka buat, termasuk pilihan untuk memburu segala simbol pencitraan kaum urban. Selama mereka nyaman dengan pilihannya, kenapa tidak? Nyatanya, kita tidak bisa mengatur penilaian orang lain atas pilihan cara hidup kita kok,” ujarnya, lugas.

Ya, dengan segala dandanan cueknya itu, Dhyani tak bisa menghindari pertanyaan nakal apakah ia juga seorang sosialita yang gemar mengonsumsi barang-barang bermerek. Ketika ditanyai apakah ia juga punya tas Hermes, ia tertawa dan mengangkat tasnya yang berbahan lurik dan tak bermerek. ”Ini tasku,” katanya.

Tetapi, punya Louis Vuitton, kan?

”Hahaha ....”

Ia tertawa.

Dhyani Hendranto
Lahir: Jakarta, 27 Desember
Suami: Dony Rivai
Anak: Daleescha Heide
Pendidikan:
- Sarjana Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung
- Magister Penciptaan Seni Institut Kesenian Jakarta
- Meneruskan penelitian Penciptaan Seni: Judul Penelitian Program S-3: "Reflections of the Cultural Values of Urban Javanese Woman in the Expression of Contemporary Jewelry Art on Improvisational Dance"
- Akademie der Bildenden Kunste Nurnberg, Germany
- Bangalore Institute of Technology, India

(Aryo Wisanggeni/Budi Suwarna)

* Ingin mengetahui problema ibu bekerja, tips gaya dan menjaga kebugaran, baca Lipsus Working Mom.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com