”Kecenderungan ke depan, jumlah penderita kanker di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan di negara maju,” kata Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Aru Sudoyo di sela-sela Kongres Nasional Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia (Perhompedin) I di Jakarta, Jumat (3/2).
Kanker di Indonesia penyebab kematian ke-4 terbesar untuk penyakit tidak menular. Jenis kanker yang paling sering ditemui adalah kanker paru, payudara, leher rahim, dan usus besar.
Pola hidup yang buruk membuat jumlah penderita kanker terus membengkak. Kondisi itu diperparah lemahnya kebijakan pemerintah mengendalikan faktor-faktor risiko yang memicu kanker, seperti rokok.
”Jika pemerintah memang mau berinvestasi untuk menjaga kesehatan masyarakat, kenakan pajak rokok 2-3 kali lipat dibandingkan saat ini,” kata Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Prijo Sidipratomo. Dana pajak itu dapat digunakan untuk pencegahan dan bantuan pengobatan kanker.
Pengobatan kanker membutuhkan biaya yang sangat besar. Sebagai gambaran, satu paket obat kemoterapi bisa mencapai Rp 20 juta. Padahal, setidaknya butuh enam kali pengobatan.
Bantuan negara untuk membantu penderita kanker penting. Anggaran untuk mengobati semua penderita kanker jauh lebih kecil dibandingkan subsidi negara untuk bahan bakar minyak yang tahun lalu mencapai Rp 165,2 triliun.
”Tidak ada negara bangkrut gara-gara mengobati penderita kanker,” kata Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany.
Meski jumlah penderita kanker sangat besar, jumlah dokter dengan kompetensi tertinggi dalam penanganan kanker, yaitu dokter subspesialis hematologi onkologi medik, di Indonesia hanya 70 orang, dan 40 orang dalam proses pendidikan subspesialis. Tidak ada dokter subspesialis hematologi onkologi medik di Maluku dan Papua serta hanya satu di Kalimantan.