Herlambang Jaluardi
Di tengah siang yang terik mengalun irama dangdut bertempo cepat dari radio kecil di atas peti kayu di kios Usaha Dagang Fauzan Berkah, Kampung Cisonggom, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi. Iramanya menggambarkan semangat pekerja saat musim panen buah manggis.
Masa panen manggis (Garcinia mangostana
”Curah hujan setelah akhir panen lalu lebih ideal bagi manggis. Tidak terlalu basah, tetapi juga tidak kekeringan,” kata Soleh Supendi (35), pemilik UD Fauzan Berkah, Rabu (29/2).
Saat ditemui, pemuda yang telah tujuh tahun menekuni bisnis manggis ini sedang menyiapkan pengiriman 65 koli manggis kualitas super ke Jakarta. Manggis setara 1 ton itu selanjutnya akan diekspor ke China.
Sehari sebelumnya, Soleh menerima sedikitnya lima ton manggis dari para petani. Buah berkulit ungu gelap tersebut lantas dipilah berdasarkan kualitasnya oleh empat karyawan. Pemilahan, antara lain, berdasarkan tekstur warna kulit dan kelengkapan kelopak hijau di bagian atas buah, yang umumnya berjumlah empat buah.
”Karena sangat banyak buah yang masuk, kami belum cukup tidur sejak semalam. Fisik tidak terlalu capek sebenarnya. Hanya pikiran yang lelah karena harus teliti mengamati satu per satu,” kata salah seorang pemilah.
Perbedaan perlakuan bagi manggis untuk kebutuhan ekspor dan dalam negeri terlihat di ruangan pemilahan yang berpenerangan lampu neon tersebut. Manggis kualitas ekspor di masukkan dalam peti plastik merah, yang sebelumnya dilapisi kertas putih. Sebelum ditutup, manggis itu diperciki cairan pengawet untuk menjaga kesegaran kulit.
Adapun manggis untuk pasar dalam negeri, istilahnya BS (buah sisa), dikumpulkan dalam peti kayu, tanpa pelapis kertas, tanpa pengawet. Warna kulit buah untuk pasar dalam negeri pun terkesan lebih kusam. Namun, jangan tertipu penampilan, rasanya lebih manis dibandingkan dengan yang kualitas ekspor. ”BS memang lebih matang dibandingkan yang untuk ekspor,” kata Soleh.
Soleh mempekerjakan sepuluh karyawan di tempat pengepulan miliknya tersebut, ditambah tujuh pemilah yang digaji oleh perusahaan eksportir. Selain itu, masih ada sekitar 20 pemilik kebun manggis yang biasanya menjual buah kepada Soleh. Rata-rata Soleh membeli manggis dari petani Rp 3.000- Rp 3.500 per kilogram (kg).
Pemilik kebun umumnya juga mempekerjakan buruh pemetik manggis. Dayat (38) adalah salah seorang pemetik yang bekerja di kebun manggis milik Sudirman. Di luar masa panen manggis, Dayat menerima jasa membajak sawah menggunakan traktor.
”Upah membajak sawah
Pesona manggis juga menarik Dian (22) untuk menambah penghasilannya. Ia dipercaya Sudirman, pamannya, untuk menyetir mobil bak terbuka, ”menjemput” manggis dari lokasi pemetikan dan mengantar ke tempat pengepulan. Sehari-harinya, pemuda yang baru menikah lima bulan lalu itu adalah sopir truk pasir di Bukit Cicantayan. Sudirman mengupah Dian Rp 50.000 per hari.
Ima Subirma, Ketua Gabungan Kelompok Tani Karya Tani Desa Bojong, mengakui, manggis mampu menyerap tenaga kerja. Saat ini, sedikitnya ada sekitar 400 pemetik yang menikmati hasil dari sekitar 25.000 batang pohon di lahan seluas 70 hektar itu.
”Tenaga kerja yang terserap pasti akan lebih banyak jika ada industri pengolahan manggis, sebelum dipasarkan. Kami membutuhkan permodalan dan pelatihan keterampilan untuk itu. Dengan hasil panen yang demikian banyak, sangat sayang kalau tidak dimanfaatkan seoptimal mungkin,” kata Ima.
Industri pengolahan manggis juga dianggap bisa menstabilkan harga jual. Soleh mengatakan, saat terjadi panen, biasanya harga jual manggis di pasaran lokal turun. Saat ini saja, ia hanya bisa menjual dengan harga